BAB I
PENDAHULUAN
Allah SWT sebagai musyarri’ memiliki
kekuasaan yang tiada tara, dengan kekuasaan-Nya itu Dia mampu menundukkan
ketaatan manusia untuk mengabdi pada-Nya. Agar dalam realisasi penghambaan itu
tidak terjadi kekeliruan maka Dia membuat aturan-aturan khusus yang disebut
sebagai syariah demi kemaslahatan manusia sendiri. Tentunya syariah itu
disesuaikan dengan tingkat kemampuan dan potensi yang dimiliki seorang hamba,
karena pada dasarnya syariah itu bukan untuk kepentingan Tuhan melainkan untuk
kepentingan manusia sendiri.
Dalam pada ini, Allah SWT memberikan
3 alternatif bagi perbuatan manusia, yakni positif (wajib), cenderung kepositif
(sunnah), cenderung kenegatif (makruh) dan negatif (haram). Untuk realisasi
kelima alternatif itu selanjutnya Allah SWT memberikan hukum keharusan yang
disebut dengan Azimah yakni keharusan untuk melakukan yang positif dan
keharusan untuk meninggalkan yang negatif. (Wahbah as Zuhaili 1982:40)
Namun tidak semua keharusan itu
dapat dilakukan manusia, mengingat potensi atau kemampuan yang dimiliki manusia
berbeda-beda. Dalam kondisi semacam ini, Allah SWT memberikan hukum rukhsah
yakni keringanan-keringanan tertentu dalam kondisi tertentu pula. Sehingga
dapat dikatakan bahwa keharusan untuk melakukan azimah seimbang dengan dengan
kebolehan melakukan rukhsah.
Allah SWT berfirman yang artinya:
“Allah tidak membebani seseorang kecuali dalam batas
kesanggupan” (QS. Al Baqarah: 286)
Bagi Asy-Syahibi, kesulitan itu dihilangkan bagi orang
mukallaf karena dua sebab. Pertama, karena khawatir akan terputuskan ibadah,
benci terhadap ibadah, serta benci terhadap taklif, dan khawatir akan adanya
kerusakan bagi orang mukallaf, baik jasad, akal, harta maupun kedudukannya,
karena pada hakikatnya taklif itu untuk kemaslahatan manusia. Kedua, karena
takut terkurangi kegiatan-kegitan sosial yang berhubungan dengan sesama
manusia, baik terhadap anak maupun keluarga dan masyarakat sekitar, karena
hubungan dengan hak-hak orang lain itu juga termasuk ibadah pula. (Wahbah as
Zuhaili, 1982:41-42)
Menurut Dr. Wahab Az-Zuhaili, tujuan pokok terciptanya
kaidah diatas adalah untuk membuktikan adanya prinsip tasamuh dan keadilan
dalam Islam agar Islam itu terkesan tidak menyulitkan. Karena itu setiap
kesulitan akan mendatangkan kemudahan, dan kewajiban melakukan tasamuh jika
dalam kondisi menyulitkan. (Wahbah as Zuhaili, 1982:195-196)
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Al Masyaqqah Tajlibut Taysir
Al-Masyaqqah menurut ahli
bahasa (etimologis) adalah al-ta’ab yaitu kelelahan, kepayahan,
kesulitan, dan kesukaran, seperti terdapat dalam QS. An-Nahl ayat 7:
“Dan ia memikul
beban-bebanmu kesuatu negeri yang tidak sampai ketempat tersebut kecuali dengan
kelelahan diri (kesukaran)”.[1]
Sedang Al Taysir secara etimologis berarti kemudahan,
seperti didalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari disebutkan oleh :
“Agama itu memudahkan, agama yang disenangi Allah
adalah agama yang benar dan mudah” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah)[2]
Jadi makna kaidah tersebut adalah kesulitan
menyebabkan adanya kemudahan. Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam
penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukkallaf (subjek hukum),
sehingga syariah meringankannya sehingga mukkallaf mampu melaksanakannya tanpa
kesulitan dan kesukaran.
B. Klasifikasi Kesulitan
a.
Kesulitan Mu’tadah
Kesulitan
Mu’tadah adalah kesulitan yang alami, dimana manusia mampu mencari jalan
keluarnya sehingga ia belum masuk pada keterpaksaan. Karena itu Ibnu Abdus
Salam mengatakan bahwa kesulitan semacam ini tidak mengugurkan ibadah dan
ketaatan juga tidak meringankan, karena hal itu diberi keringanan berarti akan
mengurangi kemaslahatan syariah itu sendiri. Sedang Ibnu Qayyim menyatakan
bahwa bila kesulitan berkaitan dengan kepayahan, maka kemaslahatan dunia
akhiran dapat mengikuti kadar kepayahan itu (Wahbah az-Zuhaili, 1982: 196-197).[3]
b.
Kesulitan Qhairu Mu’tadah
Kesulitan
Qhairu Mu’tadah adalah kesulitan yang tidak pada kebiasaan, dimana manusia
tidak mampu memikul kesulitan itu, karena jika dia melakukannya niscaya akan
merusak diri dan memberatkan kehidupannya, dan kesulitan-kesulitan itu dapat
diukur oleh kriteria akal sehat, syariat sendiri serta kepentingan yang
dicapainya. Kesulitan ini diperbolehkan menggunakan dispensasi (rukhshah).
Seperti wanita yang selalu istihadlah, maka wudhunya cukup untuk shalat wajib
serta untuk shalat sunah yang lainnya tidak diwajibkan, dan diperbolehkan
shalat khauf bagi mereka yang sedang berperang, dan sebagainya. Wahbah
az-Zuhaili, 1982: 199-200).[4]
C. Tingkatan Kesulitan Dalam Ibadah
Para ulama membagi masyaqqah ini menjadi tiga
bagian :
- al-Masyaqqah al-‘Azhimmah ( kesulitan yang sangat berat), seperti kekhawatiran yang akan hilangnya jiwa dan/atau rusaknya anggota badan. Hilangnya jiwa dan /atau anggota badan mengakibatkan kita tidak bisa melaksanakan ibadah dengan sempurna. Masyaqqah semacam ini membawa keringanan.
- al-Masyaqqah al-mutawasithah (kesulitan yang pertengahan, tidak sangat berat juga sangat tidak ringan). Masyaqqah semacam ini harus dipertimbangkan, apabila lebih dekat kepada masyaqqah yang sangat berat, maka ada kemudahan disitu. Apabila lebih dekat kepada masyaqqah yang ringan, maka tidak ada kemudahan disitu. Inilah yang penulis maksud bahwa mayaqqah itu bersifat individual.
- al-Masyaqqah al-Khafifah ( kesulitan yang ringan), seperti terasa lapar waktu puasa, terasa capek waktu tawaf dan sai, terasa pening waktu rukuk dan sujud, dan lain sebagainya. Masyaqqah semacam ini dapat ditanggulangi dengan mudah yaitu dengan cara sabar dalam melaksanakan ibadah. Alasannya, kemaslahatan dunia dan akhirat yang tercermin dalam ibadah tadi lebih utama daripada masyaqqah yang ringan ini.[5]
D. Sebab-Sebab Adanya Kesulitan
Abdurrahman as Suyuti dalam al Asyba’ wan Nadhoirnya
menyebutkan 7 macam sebab-sebab yang menyebabkan kesulitan :
1.
Karena safar (bepergian)
Misalnya boleh mengqashar shalat,
boleh berbuka puasa, meninggalkan salat jum’at.
2.
Keadaan sakit
Misalnya boleh tayamum ketika sulit
memakai air, shalat fardu sambil duduk, berbuka puasa bulan Ramadhan dengan kewajiban
qadha setelah sehat, ditundanya pelaksanaan had sampai terpidana sembuh, wanita
yang sedang menstruasi.
3.
Keadaan terpaksa yang membahayakan
kepada kelangsungan hidupnya. Setiap akad yang dilakukan dalam keadaan terpaksa
maka akad tersebut tidak sah seperti jual beli, gadai, sewa menyewa, karena
bertentangan dengan prinsip ridha (rela), merusak atau menghancurkan barang
orang lain karena dipaksa.
4.
Lupa (al nisyam)
Misalnya seseorang lupa makan dan
minum pada waktu puasa, lupa mengerjakan shalat lalu teringat dan melakukannya
diluar waktunya, lupa berbicara diwaktu shalat padahal belum melakukan salam.
Sabda Nabi SAW yang artinya:
(Diangkat pena dari penulis dosa pada ummatku ketika
salah, lupa dan terpaksa). (HR. Baihaqic dari Ibnu Umar)
5.
Karena Jahl (Bodoh)
Misalnya memakan bangkai tetapi
tidak mengerti bahwa bangkai itu diharamkan. Termasuk juga tergolong orang yang
idiot.
6.
Karena Usrun dan Umumul Balwa
(Kesulitan)
Misalnya dibolehkan istinja’ dengan
batu, kebaikan memakai sutra bagi laki-laki yang sakit, jual beli dengan akad
salam, adanya khiar dalam jual beli dan shalat dengan najis yang sulit untuk
dihilangkan.
7.
Karena Naqsh (Kekurangan)
Misalnya
wanita kadang-kadang haid dalam setiap bulannya maka diperingankan untuk tidak
mengikuti jumat, karena jumat membutuhkan waktu lama dan dikhawatirkan dalam
kondisi jumat itu datang bulan. ( as- Suyuthi, TT : 56-57).
E. Bentuk-Bentuk Keringanan Dalam Kesulitan
Keringanan atau kemudahan karena adanya masyaqqah setidaknya
ada tujuh macam, yaitu :
- Takhfif isqath/rukhsah isqath, yaitu keringanan dalam bentuk penghapusan seperti tidak shalat bagi wanita yang sedang menstruasi atau nifas. Tidak wajib haji bagi yang tidak mampu (Istitha’ah).
- Takhfif tanqish, yaitu keringanan berupa pengurangan, seperti shalat Qashar dua rakaat yang asalnya empat rakaat.
- Takhfif abdal, yaitu peringanan yang berupa penggantian, sepertu wudhu dan/atau mandi wajib diganti tayamum, atau berdiri waktu shalat wajib digant dengan duduk karena sakit.
- Takhfif taqdim, yaitu keringanan dengan cara didahulukan, seperti jama’taqdim di Arafah; mendahulukan mengeluarkan zakat sebelum haul (batas waktu satu tahun); mendahulukan mengeluarkan zakat fitrah di bulan Ramadhan; jama’taqdim bagi yang sedang bepergian yang menimbulkan masyaqqah dalam perjalanannya.
- Takhfif ta’khir, yaitu keringanan dengan cara diakhirkan, seperti shalat jama’ takhir di Muzdalifah, qadha saum Ramadhan bagi yang sakit, jama’ ta’khir bagi orang yang sedang dalam perjalanan yang menimbulkan masyaqqah dalam perjalanannya.
- Takhfif tarkhis, yaitu keringanan karena rukhsah, seperti makan dan minum yang diharamkan dalam keadaan terpaksa, sebab bila tidak, bisa membawa kematian.
- Takhfif taghyir, yaitu keringanan dalam bentuk berubahnya cara yang dilakukan, seperti shalat pada waktu khauf (kekhawatiran), misalnya pada waktu perang.[6]
F. Kaidah-Kaidah Yang Berkaitan Dengan Kondisi
Menyulitkan
a. Kaidah pertama :
“apabila suatu perkara itu sempit maka hukumnya
menjadi luas, sebaliknya jika suatu perkara itu luas maka hukumnya menjadi
sempit.”
Kaidah itu dikumandangkan oleh Imam Syafi’I, kemudian
diteruskan oleh Al-Ghazali dengan redaksi yang berbeda :
“ semua yang melampaui batas, maka (hukumnya)
berbalik kepada kebalikannya”.
Misalnya boleh berbuka puasa pada bulan Ramadhan
ketika sakit atau bepergian jauh. Sakit dan bepergian jauh merupakan suatu
kesempitan, maka hukumnya menjadi luas yaitu kebolehan berbuka. Akan tetapi,
bila orang sakit itu sembuh kembali, maka hukumnya wajib melakukan puasa itu
kembali.
b. Kaidah kedua :
“ Apabila yang asli sukar dikerjakan maka berpindah
kepada penggantinya”
Misalnya tayamum sebagai pengganti wudhu. Orang yang
meminjam suatu benda, kemudian benda itu hilang (misalnya, buku), maka
penggantinya buku yang sama baik judul, penerbit, maupun cetakannya, atau
diganti dengan harga buku tersebut dengan harga dipasaran.
c. Kaidah ketiga
“Apa yang tidak mungkin menjaganya (menghindarkannya),
maka hal itu dimaafkan”
Misalnya pada waktu sedang berpuasa, kita
berkumur-kumur, maka tidak mungkin terhindar dari rasa air dimulut atau masih
ada sisa-sisa.
d. Kaidah keempat
“ Keringanan itu tidak dikaitkan dengan kemaksiatan”
Kaidah ini digunakan untuk menjaga agar
keringanan-keringanan didalam hukum tidak disalahgunakan untuk melakukan
maksiat. Misalnya orang yang bepergian untuk berjudi kehabisan uang atau
kelaparan kemudian ia makan daging babi. Maka dia tidak dipandang sebagai orang
yang menggunakan rukhsah, tetapi tetap berdosa dengan makan daging babi
tersebut. Lain halnya dengan orang yang bepergian dengan tujuan yang dibolehkan
seperti untuk usaha yang halal, kemudian kehabisan uang dan kelaparan, serta
tidak ada makanan kecuali yang diharamkan, maka memakannya dibolehkan.
e. Kaidah kelima
“Apabila suatu kata sulit diartikan dengan arti yang
sesungguhnya, maka kata tersebut berpindah artinya kepada arti kiasannya”
Misalnya seseorang berkata: “Saya wakafkan tanah saya
ini kepada anak Kyai Ahmad”. Padahal semua tau bahwa anak kyai tersebut sudah
lama meninggal, yang ada hanyalah cucunya, yaitu kata kiasannya, bukan kata
sesungguhnya. Sebab tidak mungkin mewakafkan kepada orang yang sudah meninggal
dunia.
f. Kaidah keenam
“Apabila sulit mengamalkan suatu perkataan, maka
perkataan tersebut ditinggalkan”
Misalnya seseorang menuntut warisan dan mengaku bahwa
dia adalah anak dari orang yang meninggal, kemudian setelah diteliti, dia lebih
tua dari pada orang telah meninggal yang diakuinya sebagai ayahnya. Maka
perkataan orang tersebut ditinggalkan dalam arti tidak diakui perkataannya.
g. Kaidah ketujuh
“Bisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak
bisa dimaafkan pada permulaannya”
Misalnya orang yang menyewa rumah yang diharuskan
membayar uang muka oleh pemilik rumah. Apabila sudah habis pada waktu penyewaan
dan dia ingin memperbarui dalam arti melanjutkan sewaannya, maka ia tidak perlu
membayar uang muka lagi.
h. Kaidah kedelapan
“Dimaafkan pada permulaan tapi tidak dimaafkan pada
kelanjutannya”
Misalnya seseorang yang baru masuk Islam minum minuman
keras karena kebiasaannya sebelum masuk Islam dan tidak tau bahwa minuman
semacam itu dilarang (haram). Maka orang tersebut dimaafkan untuk permulaannya
karena ketidaktahuannya. Selanjutnya, setelah dia tau bahwa perbuatan tersebut
adalah haram, maka ia harus menghentikan perbuatan haram tersebut.
i.
Kaidah
kesembilan
“Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak
dimaafkan pada yang lainnya”
Misalnya penjual boleh menjual kembali karung bekas
tempat beras, karena karung mengikuti kepada beras yang dijual. Demikian juga
boleh mewakafkan kebun yang sudah rusak tanamannya karena tanaman mengikuti
tanah yang diwakafkan.[7]
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Pengertian kaidah “Adh-Dhararu
Yuzalu”
Arti dari
kaidah “ad-Dhararu yuzalu” adalah kemudharatan/kesulitan harus dihilangkan.
Jadi konsepsi kaidah ini memberikan pengertian bahwa manusia harus dijauhkan
dari idhrar (tindak menyakiti), baik oleh dirinya maupun orang
lain, dan tidak semestinya ia menimbulkan bahaya (menyakiti) pada orang lain.[8]
Namun Dharar
(Dharar) secara etimologi adalah berasal dari kalimat "adh Dharar"
yang berarti sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat menahannya. Sedangkan
Dharar secara terminologi menurut para ulama ada beberapa pengertian
diantaranya adalah:
1. Dharar ialah
posisi seseorang pada suatu batas dimana kalau tidak mau melanggar sesuatu yang
dilarang maka bisa mati atau nyaris mati. Nah hal seperti ini memperbolehkan ia
melanggarkan sesuatu yang diharamkan dengan batas batas tertentu.
2. Abu Bakar Al
Jashas, mengatakan “Makna Dharar disini adalah ketakutan seseorang
pada bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota badannya karena ia
tidak makan”.
3. Menurut Ad
Dardiri, “Dharar ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan yang
teramat sangat”.
4. Menurut
sebagian ulama dari Madzhab Maliki, “Dharar ialah mengkhawatirkan diri dari
kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan”.
5. Menurut Asy
Suyuti, “Dharar adalah posisi seseorang pada sebuah batas dimana kalau ia tidak
mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau nyaris binasa.[9]
Dharar disini menjaga
jiwa dari kehancuran atau posisi yang sangat mudharat sekali, maka dalam
keadaan seperti ini kemudaratan itu membolehkan sesuatu yang dilarang.
Berdasarkan
pendapat para ulama di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Dharar adalah
kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak
diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan
manusia.[10]
B. Dasar-Dasar
pengambilan kaidah “Ad-Dhararu Yuzalu”
Kaidah ini menunjukkan bahwa kemadharatan itu telah
terjadi atau akan terjadi, dengan demikian setiap kemadharatan memang harus
dihilangkan.
Dasar dari kaidah ini adalah firman Allah dalam surat al-A’raf ayat 7: 56:
Artinya: dan
janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya
dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan
(akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang
berbuat baik.[11] (Q.S
al-a’raf 7: 56)
Surat al-Qashash ayat 77:
Artinya: dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan
Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan.[12] (Q.S al-Qashash
28: 77)
Hadits nabi SAW yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dan
Ibnu Majah dari Ibnu Abbas:
"Tidak diperbolehkan membuat kemadharatan pada diri sendiri dan
kemadharatan pada orang lain".[13]
Masalah-masalah yang dapat mempergunakan kaidah ini
banyak sekali, diantaranya: khiyar, syuf’ah, hudud, kafarat, memilih pemimpin,
fasakh dalam nikah karena ada aib dan sebagainya[14]
C. Perbedaan
antara Masyaqqat dan Dharar
1. Masyaqqat adalah
suatu kesulitan yang menghendaki adanya kebutuhan (hajat) tentang sesuatu, dan
jika tidak terpenuhi tidak akan mempengaruhi eksistensi manusia, sedang Dharar adalah
kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika tidak
terselesaikan akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta, serta kehormatan
manusia.
2. Masyaqqat waktu
terjadinya relative lama dan bias terjadi terus-menerus, sedangkan Dharar relative
singkat
3. Masyaqqat solusi
alternativenya banyak, sedangkan Dharar hanya ada satu
4. Dengan adanya Masyaqqat akan
mendatangkan kemudahan dan adanya Dharar akan ada penghapusan
hukum.
Dengan
demikian adanya Rukhsoh (keringanan) dan penghapusan Dharar akan mendatangkan kemaslahatan
bagi kehidupan manusia, dan dalam konteks ini keduanya tidak mempunyai
perbedaan. (Wahbah az-Zuhaili, 1982: 218)
D. Uraian
Kaidah “Ad-Dhararu Yuzalu”
Islam tidak
menghendaki adanya kemudaratan bagi pemeluknya, maka harus dihilangkan jika ada.
Kaedah ini sering diungkapakan melalui hadis rasulullah:
“ tidak boleh memberi memudaratkan dan membalas kemudaratan ”[15]
Para ulama berbeda pendapat tentang perkataan dharar dan dhirar yaitu:
1. Al-Husaini
mengartikan al-dharar dengan “bagimu ada manfaat tapi bagi tetanggamu ada
mudarat”. Sedangkan al-dhirar diartikan dengan “bagimu tidak ada
manfaatnya dan bagi orang lain memudaratkan”.
2. Ulama lain
mengartikan al-dharar dengan “ membuat kemudaratan” dan al-dhirar
diartikan membawa kemudaratan diluar ketentuan syari’ah.
Contoh, jika seseorang tetangga membuat saluran air
untuk rumahnya yang menyebabkan kerapuhan tembok (dinding) rumah tetangganya
sehingga dapat membuatnya roboh, maka pembuatan saluran air ini tidak
diperbolehkan karena alasan ini dan mengingat bahaya yang begitu jelas di
dalamnya.
Dari sini para ahli hukum dalam menetapkan asas hukum
umum dalam perhubungan bertetangga rumah, bahwa kebebasan tetangga dalam
menjalankan hak kepemilikannya dibatasi dengan keharusan tidak mendatangkan
bahaya dan kerusakan yang nyata pada hak tetangganya.
Dalam segala kondisi, seseorang tidak dapat dipaksa
untuk menghilangkan haknya yang berpotensi menyebabkan kemudaratan bagi orang
lain (tetangganya) jika memang ia lebih dahulu ada sebelum Sitetangga.
Misalnya, jika seseorang menempati atau membangun rumah disamping pabrik roti
yang telah berdiri sebelum ia menempati atau membangun rumah tersebut, maka ia
tidak berhak menuntut penutupan pabrik tersebut dengan alasan efek negatif yang
diterima dirinya. Hal itu dikarenakan ia sendiri yang memasuki wilayah bahaya
dengan keinginan dan pilihannya sendiri.
“ Diambil mudarat yang lebih ringan diantara dua
mudarat ” artinya, apabila suatu perkara atau tindakan menyebabkan suatu
bahaya yang tidak dapat dihilangkan kecuali dengan satu tindakan bahaya lainnya
yang salah satu dari kedua bahaya tersebut lebih besar dari pada yang lainnya,
maka bahaya yang lebih besar dihilangkan dengan yang lebih kecil. Namun,
apabila tindakan tersebut mendatangkan akibat yang lebih besar, maka tidak
boleh dilakukan.
Jika terkait dengan kemudartan umum (bahaya sosial),
maka tidak lagi dilihat apakah penyebab bahaya tersebut terlebih dahulu ada
atau baru, tetapi dalam keadaan apapun bahaya ini harus dihilangkan. Contohnya
barang siapa yang membangun tenda besar ditengah jalan umum atau membangun
jembatan yang mempersulit arus lalu lintas, maka ia dapat diperintahkan untuk
menghancurkannya, meskipun memakan waktu yang lama.[16] Ada
juga contoh lainnya mengenai kaidah ad-dhararu yuzalu antara
lain:
1. Larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok
masyarakat karena perbuatan tersebut mengakibatkan kemudaratan bagi rakyat.
2. Larangan
menghancurkan pohon-pohon, membunuh anak kecil, orang tua, wanita, dan
orang-orang yang tidak terlibat peperangan dan pendeta agama lain adalah untuk
menghilangkan kemudaratan.
3. Kewajiban
berobat dan larangan membunuh diri juga untuk menghilangkan kemudaratan.
4. Larangan
murtad dari agama islam dan larangan mabuk-mabukan juga untuk menghilangkan
kemudaratan.[17]
E. Cabang-Cabang Kaidah “Ad-Dhararu
Yuzalu”
Sebagai kaidah pokok, ada beberapa kaidah yang
menginduk pada kaidah ini, yaitu:
Kaidah pertama:
"Madharat itu dapat memperbolehkan yang diharamkan"
Dasar nash dari kaidah di atas adalah firman Allah:
Artinya: “Dan sesunguhnya Allah telah menjelaskan
kepadamu apa yang diharamkan-Nya atasmukecualiapa yang terpaksa kamu
memakannya”[18](.QS.
al-An’am:119)
Artinya: “Maka barangsiapa dalam keadaan terpaksa
(memakannya) sedangkan ia tidak menginginkannya, serta tidak melampaui batas
maka tiada dosa baginya”[19].(QS.
Al-Baqarah : 173)
Melihat ayat di atas, tidak semua keterpaksaan itu
memperbolehkan yang haram, namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan
yang benar-benar tidak ada jalan lain kecuali hanya melakukan itu, dalam
kondisi ini maka yang haram dapat diperbolehkan memakainya. Misalnya seseorang
di hutan tiada menemukan makanan sama sekali kecuali babi hutan dan bila ia
tidak memakannya akan mati, maka babi hutan itu dapat dimakan sebatas
keperluannya.
Batasan kemadharatan adalah suatu hal yang mengancam eksistensi manusia,
yang terkait dengan panca tujuan yaitu: memelihara agama, memelihara jiwa,
memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara kehormatan atau harta
benda. Dengan demikian Dharar itu terkait dengan dharuriyah, bukan hajiyah dan
tahsiniyah. Sedangkan hajat (kebutuhan) terkait dengan hajiyah dan tahsiniyah.
Karena itu terdapat kaidah:
“Tiada keharaman baagi Dharar dan tidak ada kemakruhan bagi
kebutuhan”(Abdul Hamid Hakim, 1956:81).
Kaidah kedua:
“Apa yang diperbolehkan karena Dharar maka diukur menurut kadar
kemadharatannya” (as-Suyuthi, TT:60).
Contoh kaidah di atas adalah: kebolehan memakan
bangkai bagi seseorang hanya sekadar dalam ukuran untuk mempertahankan hidup,
tidak boleh melebihi.
Kaidah ketiga:
“Keterpaksaan itu tidak dapat membatalkan hak orang lain” (Wahbah
az-Zuhaili 1982:259)
Misalnya seseorang dalam keadaan lapar, dan dia akan
mati jika ia tidak makan, dan jalan satu-satunya mendapat makanan adalah mencuri,
maka ia tidak boleh melakukannya, karena pengguguran terhadap keterpaksaan ini
mengganggu hak orang lain, maka jalan keluar orang tersebut adalah boleh makan
makanan yang haram seperti babi, bangkai dan sebagainya.
Kaidah keempat:
“kemadharatan itu tidak bisa dihilangkan dengan kemadhratan yang lain”
(as-Suyuthi,TT:61)
Kaedah ini semakna dengan kaedah:
“ kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan yang sebanding”
Maksud kaedah itu adalah kemudharatan tidak boleh
dihilangkan dengan cara melakukan kemudharatan lain yang sebanding keadaannya.
Misalnya, seseorang debitor tidak mau membayar utangnya padahal waktu
pembayaran sudah habis. Maka dalam hal ini tidak boleh kreditor mencuri barang
debitor sebagai pelunasan terhadap hutangnya.
Contoh lain seorang dokter tidak boleh melakukan donor
darah dari satu orang ke orang lain jika hal itu menyebabkan si pendonor
menderita sakit lebih parah dari yang menerima donor.
Kebolehan berbuat atau meninggalkan sesuatu karena
Dharar adalah untuk memenuhi penolakan terhadap bahaya, bukan selain ini. Dalam
kaitan ini Dr. Wahbah az-Zuhaili membagi kepentingan manusia akan sesuatu
dengan 5 klasifikasi, yaitu:
a. Dharar, yaitu kepentingan manusia yang diperbolehkan
menggunakan sesuatu yang dilarang, karena kepentingan itu menempati puncak
kepentingan manusia, bila tidak dilaksanakan maka mendatangkan kerusakan.
Kondisi semacam ini memperbolehkan segala yang diharamkan atau dilarang,
seperti memakai pakaian sutra bagi laki-laki yang telanjang , dan sebagainya.
b. Hajat, yaitu
kepentingan manusia akan sesuatu yang bila tidak dipenuhi mendatangkan
kesulitan atau mendekati kerusakan. Kondisi semacam ini tidak menghalalkan yang
haram. Misalnya seorang laki-laki yang tidak mampu berpuasa maka diperbolehkan
berbuka dengan makanan halal, bukan makanan haram.
c. Manfaat,
yaitu kepentingan manusia untuk menciptakan kehidupan yang layak. Maka hukum
diterapkan menurut apa adanya karena sesungguhnya hukum itu mendatangkan
manfaat. Misalnya makan makanan pokok seperti beras, ikan, sayur-mayur,
lauk-pauk, dan sebagainya.
d. Zienah,
yaitu kepentingan manusia yang terkait dengan nilai-nilai estetika.
e. Fudhul,
yaitu kepentingan manusia hanya sekedar utuk berlebih-lebihan, yang
memungkinkan mendatangkan kemaksiatan atau keharaman. Kondisi semacam ini
dikenakan hukum saddu adz dzariah, yakni menutup segala kemungkinan yang
mendatangkan mafsadah. (Wahbah az-Zuhaili, 1982:246-247)
Contoh kaidah di atas adalah kebolehan memakan bangkai
bagi seseorang hanya sekadar dalam ukuran untuk mempertahankan hidup, tidak
boleh melebihi.
Kaidah kelima :
“Apa yang diizinkan karena adanya udzur, maka keizinan itu hilang manakala
udzurnya hilang.” (wahbah az-Zuhaili, 1982:245)
Misalnya kebolehan tayammum bagi seseorang yang lagi
sakit, maka ketika sudah sembuh kebolehan tayammum itu hilang atau tidak
perlaku lagi.
Kaidah keenam:
“Kemudahan itu tidak dapat digugurkan dengan kesulitan” (Wahbah az-Zuhaili,
1982:257)
Kaidah tersebut menurut Ibnu Subki diambil dari sabda
nabi SAW:
“Apabila aku perintahkan kalian dengan suatu perintah maka lakukanlah
perintah itu semampu kalian”
Misalnya seorang yang buntung tangan atau kakinya maka
cara wudhunya cukup membasuh yang ada, kalau tidak ada sama sekali maka cukup
membasuh anggota yang paling ujung sendiri.
Kaidah ketujuh:
“Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada mendapatkan kemaslahatan, dan
apabila berlawanan antara mafsadah dan maslahah maka yang didahulukan adalah
menolak mafsadahnya” (as-Suyuthi, TT:62)
Kaidah tersebut diilhami oleh hadits nabi SAW yang
artinya:
“Apabila aku telah memerinahkanmu dengan suatu perintah maka kerjakanlah
perintah itu semampumu, tetapi jika aku telah melarang padamu tentang sesuatu
maka jauhilah”.(HR. Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah)"
Misalnya seseorang diprintahkan shalat dalam keadaan
berdiri, namun ia tidak mampu melaksanakannya, maka shalat itu dapat dikerjakan
dengan duduk atau berbaring. Menolak madharat didahulukan karena kerusakan akan
berakibat pada hilangnya manfaat. Misalnya minum khomr itu disamping ada
madharatnya merusak akal dan menghambur-hamburkan uang sedang manfaatnya untuk
menguatkan badan , walaupun demikian maka yang dimenangkan adalah menolak
kerusakannya.
Kaidah kedelapan:
“Apabila dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar
madharatnya dengan memilih yang lebih ringan madharatnya” (Abdul Hamid Hakim,
1956:82)
Misalnya diperbolehkan mengadakan pembedahan perut
wanita yang mati jika dimungkinkan bayi yang dikandungnya dapat diselamatkan.
Demikian juga boleh shalat denga bugil jika tidak ada alat penutup sama sekali.
Kaidah kesembilan:
“Kebutuhan umum atau khusus dapat menduduki tempat Dharar” (Wahbah
az-Zuhaili, 1982:261)
Kaidah diatas menunjukkkan bahwa keringanan itu tidak
hanya berlaku bagi kemadharatan, baik kebutuhan umum maupun khusus, sehingga
dapat dikatakan bahwa keringanan itu diperbolehkan karena kebutuhan sebagaimana
kebolehan keringanan atas kemadharatan, karena itu hajat itu hampir sama
kedudukannya dengan mudharat.
Misalnya, pada dasarnya transaksi jual beli diharuskan
terpenuhi semua rukun dan syaratnya, namun untuk mempermudah transaksi tersebut
maka diperbolehkan akad salam (pesanan) walaupun pada dasarnya hal itu tidak
mengikuti hukum asal.
Perbedan Dharar dan Hajat:
a. Dharar lebih berat
keadaanya sedangkan hajat hanya sekedar butuh.
b. Hukum Dharar
dalam mengecualikan terhadap hukum yang sudah diterapkan walaupun terbatas
waktu dan kadarnya, misalnya wajib menjadi mubah, haram menjadi mubah. Sedang
hukum hajat tidak dapat mengubah hukum nash yang sudah jelas.(Wahbah
az-Zuhaili, 1982:273-274)
Sedang
syarat adanya hajat adalah sebagai berikut :
a. ia
membutuhkan atas ketidak berlakuan hukum asal karena adanya kesulitan (hajat
atau masyaqqat) yang tidak bisa terjadi.
b. Sesuatu yang
dihajati itu patut menggunakan hukum istisna’(pengecualian) bagi individu
menurut kebiasaan.
c. Hajat yang
dihadapi merupakan hajat yang jelas untuk suatu tujuan bagi hukum syara’.
d. Kedudukan
hajat sama dengan Dharar dalam aspek penggunaan kadar yang dibutuhkan. (Wahbah
az-Zuhaili, 1982:275-276)
Jumhur ulama
menggunakan keringanan-keringanan dalam hajat atau Dharar jika ternyata hajat
dan Dharar itu memenuhi syarat-syaratnya.
BAB IV
PENUTUP
Al-Masyaqqah
menurut ahli bahasa (etimologis)
adalah al-ta’ab yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan, dan kesukaran.
Sedang Al
Taysir secara etimologis berarti kemudahan.
Jadi makna
kaidah tersebut adalah kesulitan menyebabkan adanya kemudahan. Maksudnya adalah
bahwa hukum-hukum yang dalam penarapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran
bagi mukkallaf (subjek hukum), sehingga syariah meringankannya sehingga
mukkallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.
Para ulama
membagi masyaqqah ini menjadi tiga bagian :
- al-Masyaqqah al-‘Azhimmah ( kesulitan yang sangat berat),
- al-Masyaqqah al-mutawasithah (kesulitan yang pertengahan, tidak sangat berat juga sangat tidak ringan),
- al-Masyaqqah al-Khafifah ( kesulitan yang ringan).
- Sebab-Sebab Adanya Kesulitan
Abdurrahman
as Suyuti dalam al Asyba’ wan Nadhoirnya menyebutkan 7 macam sebab-sebab yang
menyebutkan kesulitan :
Karena safar
(bepergian), Keadaan sakit, Keadaan terpaksa yang membahayakan kepada
kelangsungan hidupnya, Lupa (al nisyam), Karena Jahl (Bodoh), Karena, Usrun dan
Umumul Balwa (Kesulitan), Karena Naqsh (Kekurangan).
Arti dari kaidah “ad-Dhararu yuzalu”
adalah kemudharatan/kesulitan harus dihilangkan. Jadi konsepsi kaidah ini
memberikan pengertian bahwa manusia harus dijauhkan dari idhrar (tindak
menyakiti), baik oleh dirinya maupun orang lain, dan tidak semestinya ia
menimbulkan bahaya (menyakiti) pada orang lain.[20]
Namun Dharar
(Dharar) secara etimologi adalah berasal dari kalimat "adh Dharar"
yang berarti sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat menahannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Djazuli, A, Kaidah-Kaidah
Fiqh. Jakarta : Kencana: 2006
Ustman,
Mukhlis, Kaidah-Kaidah ushuliyah dan Fiqhiyah. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada: 1997
Mukhlis usman, MA. Kaidah-Kaidah
Ushuliyah dan Fiqhiyah. Jakarta: Raja Grafindo Persada:1997.
Al Burnu,
Muhammad Shiddiq bin Ahmad, al-Wajiz fi Idhah, al-Qawai’id al
Fiqhiyah, cet I, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1404 H/1983 M),
Nashr farid Muhammad washil, Qawa’id Fiqhiyyah,
Pondok pasantren islam nirul iman, Dhorurat dalam Perspektif
Islam, http://ppnuruliman.com/artikel/fikih/228-dhorurat-dalam-perspektif-islam.html, 19/04/2014,
02.19 WIB
Nur Alim, Ad-Dhararu Yuzalu, http://noeraliem.blogspot.com/2010/10/ad-dhararu-yuzalu-kemudharatan-itu.html, 19/04/2014,
02.23 WIB
Abdul hamid hakim, as-sullam, juz II, Jakarta: maktabah as-sa’diyah putra,
Musbik imam, qawa’id al-fiqfiyah, Jakarta:PT rajagrafindopersada,
2001,
[1]Prof. H. A.
Djazuli. Kaidah-Kaidah Fiqih. Jakarta:Kencana, 2006. hal 55
[2]Al Burnu,
Muhammad Shiddiq bin Ahmad, al-Wajiz fi Idhah, al-Qawai’id al
Fiqhiyah, cet I, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1404 H/1983 M), hal. 129
[3]Ibid, hal
126
[4]Ibid, hal
127
[5]Prof. H. A.
Djazuli. Kaidah-Kaidah Fiqih. Jakarta:Kencana, 2006. hal 57-58
[6]Ibid, hal 58
[7]Ibid, hal
59-65
[8]Nashr farid
Muhammad washil, Qawa’id Fiqhiyyah, hlm17.
[9]Ibid, hal
125
[10]Prof. H. A.
Djazuli. Kaidah-Kaidah Fiqih. Jakarta:Kencana, 2006. hal 55
[11]Al Burnu,
Muhammad Shiddiq bin Ahmad, al-Wajiz fi Idhah, al-Qawai’id al
Fiqhiyah, cet I, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1404 H/1983 M), hal. 129
[12]Ibid, hal
126
[13]Ibid, hal
127
[14]Prof. H. A.
Djazuli. Kaidah-Kaidah Fiqih. Jakarta:Kencana, 2006. hal 57-58
[15]Ibid, hal 58
[16]Ibid, hal
59-65
[18]QS.
al-An’am:119
[19]QS.
Al-Baqarah : 173
[20]Nashr farid
Muhammad washil, Qawa’id Fiqhiyyah, hlm17.
No comments:
Post a Comment