Sunday, August 10, 2014

masyaqah



BAB I
PENDAHULUAN
Allah SWT sebagai musyarri’ memiliki kekuasaan yang tiada tara, dengan kekuasaan-Nya itu Dia mampu menundukkan ketaatan manusia untuk mengabdi pada-Nya. Agar dalam realisasi penghambaan itu tidak terjadi kekeliruan maka Dia membuat aturan-aturan khusus yang disebut sebagai syariah demi kemaslahatan manusia sendiri. Tentunya syariah itu disesuaikan dengan tingkat kemampuan dan potensi yang dimiliki seorang hamba, karena pada dasarnya syariah itu bukan untuk kepentingan Tuhan melainkan untuk kepentingan manusia sendiri.
Dalam pada ini, Allah SWT memberikan 3 alternatif bagi perbuatan manusia, yakni positif (wajib), cenderung kepositif (sunnah), cenderung kenegatif (makruh) dan negatif (haram). Untuk realisasi kelima alternatif itu selanjutnya Allah SWT memberikan hukum keharusan yang disebut dengan Azimah yakni keharusan untuk melakukan yang positif dan keharusan untuk meninggalkan yang negatif. (Wahbah as Zuhaili 1982:40)
Namun tidak semua keharusan itu dapat dilakukan manusia, mengingat potensi atau kemampuan yang dimiliki manusia berbeda-beda. Dalam kondisi semacam ini, Allah SWT memberikan hukum rukhsah yakni keringanan-keringanan tertentu dalam kondisi tertentu pula. Sehingga dapat dikatakan bahwa keharusan untuk melakukan azimah seimbang dengan dengan kebolehan melakukan rukhsah.
Allah SWT berfirman yang artinya:
“Allah tidak membebani seseorang kecuali dalam batas kesanggupan” (QS. Al Baqarah: 286)
Bagi Asy-Syahibi, kesulitan itu dihilangkan bagi orang mukallaf karena dua sebab. Pertama, karena khawatir akan terputuskan ibadah, benci terhadap ibadah, serta benci terhadap taklif, dan khawatir akan adanya kerusakan bagi orang mukallaf, baik jasad, akal, harta maupun kedudukannya, karena pada hakikatnya taklif itu untuk kemaslahatan manusia. Kedua, karena takut terkurangi kegiatan-kegitan sosial yang berhubungan dengan sesama manusia, baik terhadap anak maupun keluarga dan masyarakat sekitar, karena hubungan dengan hak-hak orang lain itu juga termasuk ibadah pula. (Wahbah as Zuhaili, 1982:41-42)
Menurut Dr. Wahab Az-Zuhaili, tujuan pokok terciptanya kaidah diatas adalah untuk membuktikan adanya prinsip tasamuh dan keadilan dalam Islam agar Islam itu terkesan tidak menyulitkan. Karena itu setiap kesulitan akan mendatangkan kemudahan, dan kewajiban melakukan tasamuh jika dalam kondisi menyulitkan. (Wahbah as Zuhaili, 1982:195-196)




BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Al Masyaqqah Tajlibut Taysir

Al-Masyaqqah menurut ahli bahasa (etimologis) adalah al-ta’ab yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan, dan kesukaran, seperti terdapat dalam QS. An-Nahl ayat 7:
http://www.dudung.net/images/quran/16/16_7.png
 “Dan ia memikul beban-bebanmu kesuatu negeri yang tidak sampai ketempat tersebut kecuali dengan kelelahan diri (kesukaran)”.[1]
Sedang Al Taysir secara etimologis berarti kemudahan, seperti didalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari disebutkan oleh :
“Agama itu memudahkan, agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar dan mudah” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah)[2]
Jadi makna kaidah tersebut adalah kesulitan menyebabkan adanya kemudahan. Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukkallaf (subjek hukum), sehingga syariah meringankannya sehingga mukkallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.
B. Klasifikasi Kesulitan
a.         Kesulitan Mu’tadah
Kesulitan Mu’tadah adalah kesulitan yang alami, dimana manusia mampu mencari jalan keluarnya sehingga ia belum masuk pada keterpaksaan. Karena itu Ibnu Abdus Salam mengatakan bahwa kesulitan semacam ini tidak mengugurkan ibadah dan ketaatan juga tidak meringankan, karena hal itu diberi keringanan berarti akan mengurangi kemaslahatan syariah itu sendiri. Sedang Ibnu Qayyim menyatakan bahwa bila kesulitan berkaitan dengan kepayahan, maka kemaslahatan dunia akhiran dapat mengikuti kadar kepayahan itu (Wahbah az-Zuhaili, 1982: 196-197).[3]
b.         Kesulitan Qhairu Mu’tadah
Kesulitan Qhairu Mu’tadah adalah kesulitan yang tidak pada kebiasaan, dimana manusia tidak mampu memikul kesulitan itu, karena jika dia melakukannya niscaya akan merusak diri dan memberatkan kehidupannya, dan kesulitan-kesulitan itu dapat diukur oleh kriteria akal sehat, syariat sendiri serta kepentingan yang dicapainya. Kesulitan ini diperbolehkan menggunakan dispensasi (rukhshah). Seperti wanita yang selalu istihadlah, maka wudhunya cukup untuk shalat wajib serta untuk shalat sunah yang lainnya tidak diwajibkan, dan diperbolehkan shalat khauf bagi mereka yang sedang berperang, dan sebagainya. Wahbah az-Zuhaili, 1982: 199-200).[4]
C. Tingkatan Kesulitan Dalam Ibadah
Para ulama membagi masyaqqah ini menjadi tiga bagian :
  1. al-Masyaqqah al-‘Azhimmah ( kesulitan yang sangat berat), seperti kekhawatiran yang akan hilangnya jiwa dan/atau rusaknya anggota badan. Hilangnya jiwa dan /atau anggota badan mengakibatkan kita tidak bisa melaksanakan ibadah dengan sempurna. Masyaqqah semacam ini membawa keringanan.
  2. al-Masyaqqah al-mutawasithah (kesulitan yang pertengahan, tidak sangat berat juga sangat tidak ringan). Masyaqqah semacam ini harus dipertimbangkan, apabila lebih dekat kepada masyaqqah yang sangat berat, maka ada kemudahan disitu. Apabila lebih dekat kepada masyaqqah yang ringan, maka tidak ada kemudahan disitu. Inilah yang penulis maksud bahwa mayaqqah itu bersifat individual.
  3. al-Masyaqqah al-Khafifah ( kesulitan yang ringan), seperti terasa lapar waktu puasa, terasa capek waktu tawaf dan sai, terasa pening waktu rukuk dan sujud, dan lain sebagainya. Masyaqqah semacam ini dapat ditanggulangi dengan mudah yaitu dengan cara sabar dalam melaksanakan ibadah. Alasannya, kemaslahatan dunia dan akhirat yang tercermin dalam ibadah tadi lebih utama daripada masyaqqah yang ringan ini.[5]

D. Sebab-Sebab Adanya Kesulitan
Abdurrahman as Suyuti dalam al Asyba’ wan Nadhoirnya menyebutkan 7 macam sebab-sebab yang menyebabkan kesulitan :
1.           Karena safar (bepergian)
Misalnya boleh mengqashar shalat, boleh berbuka puasa, meninggalkan salat jum’at.
2.           Keadaan sakit
Misalnya boleh tayamum ketika sulit memakai air, shalat fardu sambil duduk, berbuka puasa bulan Ramadhan dengan kewajiban qadha setelah sehat, ditundanya pelaksanaan had sampai terpidana sembuh, wanita yang sedang menstruasi.
3.           Keadaan terpaksa yang membahayakan kepada kelangsungan hidupnya. Setiap akad yang dilakukan dalam keadaan terpaksa maka akad tersebut tidak sah seperti jual beli, gadai, sewa menyewa, karena bertentangan dengan prinsip ridha (rela), merusak atau menghancurkan barang orang lain karena dipaksa.
4.           Lupa (al nisyam)
Misalnya seseorang lupa makan dan minum pada waktu puasa, lupa mengerjakan shalat lalu teringat dan melakukannya diluar waktunya, lupa berbicara diwaktu shalat padahal belum melakukan salam.
Sabda Nabi SAW yang artinya:
(Diangkat pena dari penulis dosa pada ummatku ketika salah, lupa dan terpaksa). (HR. Baihaqic dari Ibnu Umar)
5.           Karena Jahl (Bodoh)
Misalnya memakan bangkai tetapi tidak mengerti bahwa bangkai itu diharamkan. Termasuk juga tergolong orang yang idiot.
6.           Karena Usrun dan Umumul Balwa (Kesulitan)
Misalnya dibolehkan istinja’ dengan batu, kebaikan memakai sutra bagi laki-laki yang sakit, jual beli dengan akad salam, adanya khiar dalam jual beli dan shalat dengan najis yang sulit untuk dihilangkan.
7.           Karena Naqsh (Kekurangan)
Misalnya wanita kadang-kadang haid dalam setiap bulannya maka diperingankan untuk tidak mengikuti jumat, karena jumat membutuhkan waktu lama dan dikhawatirkan dalam kondisi jumat itu datang bulan. ( as- Suyuthi, TT : 56-57).

E. Bentuk-Bentuk Keringanan Dalam Kesulitan
Keringanan atau kemudahan karena adanya masyaqqah setidaknya ada tujuh macam, yaitu :
  1. Takhfif isqath/rukhsah isqath, yaitu keringanan dalam bentuk penghapusan seperti tidak shalat bagi wanita yang sedang menstruasi atau nifas. Tidak wajib haji bagi yang tidak mampu (Istitha’ah).
  2. Takhfif tanqish, yaitu keringanan berupa pengurangan, seperti shalat Qashar dua rakaat yang asalnya empat rakaat.
  3. Takhfif abdal, yaitu peringanan yang berupa penggantian, sepertu wudhu dan/atau mandi wajib diganti tayamum, atau berdiri waktu shalat wajib digant dengan duduk karena sakit.
  4. Takhfif taqdim, yaitu keringanan dengan cara didahulukan, seperti jama’taqdim di Arafah; mendahulukan mengeluarkan zakat sebelum haul (batas waktu satu tahun); mendahulukan mengeluarkan zakat fitrah di bulan Ramadhan; jama’taqdim bagi yang sedang bepergian yang menimbulkan masyaqqah dalam perjalanannya.
  5. Takhfif  ta’khir, yaitu keringanan dengan cara diakhirkan, seperti shalat jama’ takhir di Muzdalifah, qadha saum Ramadhan bagi yang sakit, jama’ ta’khir bagi orang yang sedang dalam perjalanan yang menimbulkan masyaqqah dalam perjalanannya.
  6. Takhfif tarkhis, yaitu keringanan karena rukhsah, seperti makan dan minum yang diharamkan dalam keadaan terpaksa, sebab bila tidak, bisa membawa kematian.
  7. Takhfif taghyir, yaitu keringanan dalam bentuk berubahnya cara yang dilakukan, seperti shalat pada waktu khauf (kekhawatiran), misalnya pada waktu perang.[6]

F. Kaidah-Kaidah Yang Berkaitan Dengan Kondisi Menyulitkan

a.      Kaidah pertama :
“apabila suatu perkara itu sempit maka hukumnya menjadi luas, sebaliknya jika suatu perkara itu luas maka hukumnya menjadi sempit.”
Kaidah itu dikumandangkan oleh Imam Syafi’I, kemudian diteruskan oleh Al-Ghazali dengan redaksi yang berbeda :
semua yang melampaui batas, maka (hukumnya) berbalik kepada kebalikannya”.
Misalnya boleh berbuka puasa pada bulan Ramadhan ketika sakit atau bepergian jauh. Sakit dan bepergian jauh merupakan suatu kesempitan, maka hukumnya menjadi luas yaitu kebolehan berbuka. Akan tetapi, bila orang sakit itu sembuh kembali, maka hukumnya wajib melakukan puasa itu kembali.
b.      Kaidah kedua :
“ Apabila yang asli sukar dikerjakan maka berpindah kepada penggantinya”
Misalnya tayamum sebagai pengganti wudhu. Orang yang meminjam suatu benda, kemudian benda itu hilang (misalnya, buku), maka penggantinya buku yang sama baik judul, penerbit, maupun cetakannya, atau diganti dengan harga buku tersebut dengan harga dipasaran.
c.       Kaidah ketiga
“Apa yang tidak mungkin menjaganya (menghindarkannya), maka hal itu dimaafkan”
Misalnya pada waktu sedang berpuasa, kita berkumur-kumur, maka tidak mungkin terhindar dari rasa air dimulut atau masih ada sisa-sisa.
d.      Kaidah keempat
“ Keringanan itu tidak dikaitkan dengan kemaksiatan”
Kaidah ini digunakan untuk menjaga agar keringanan-keringanan didalam hukum tidak disalahgunakan untuk melakukan maksiat. Misalnya orang yang bepergian untuk berjudi kehabisan uang atau kelaparan kemudian ia makan daging babi. Maka dia tidak dipandang sebagai orang yang menggunakan rukhsah, tetapi tetap berdosa dengan makan daging babi tersebut. Lain halnya dengan orang yang bepergian dengan tujuan yang dibolehkan seperti untuk usaha yang halal, kemudian kehabisan uang dan kelaparan, serta tidak ada makanan kecuali yang diharamkan, maka memakannya dibolehkan.
e.       Kaidah kelima
“Apabila suatu kata sulit diartikan dengan arti yang sesungguhnya, maka kata tersebut berpindah artinya kepada arti kiasannya”
Misalnya seseorang berkata: “Saya wakafkan tanah saya ini kepada anak Kyai Ahmad”. Padahal semua tau bahwa anak kyai tersebut sudah lama meninggal, yang ada hanyalah cucunya, yaitu kata kiasannya, bukan kata sesungguhnya. Sebab tidak mungkin mewakafkan kepada orang yang sudah meninggal dunia.
f.       Kaidah keenam
“Apabila sulit mengamalkan suatu perkataan, maka perkataan tersebut ditinggalkan”
Misalnya seseorang menuntut warisan dan mengaku bahwa dia adalah anak dari orang yang meninggal, kemudian setelah diteliti, dia lebih tua dari pada orang telah meninggal yang diakuinya sebagai ayahnya. Maka perkataan orang tersebut ditinggalkan dalam arti tidak diakui perkataannya.
g.      Kaidah ketujuh
“Bisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa dimaafkan pada permulaannya”
Misalnya orang yang menyewa rumah yang diharuskan membayar uang muka oleh pemilik rumah. Apabila sudah habis pada waktu penyewaan dan dia ingin memperbarui dalam arti melanjutkan sewaannya, maka ia tidak perlu membayar uang muka lagi.
h.      Kaidah kedelapan
“Dimaafkan pada permulaan tapi tidak dimaafkan pada kelanjutannya”
Misalnya seseorang yang baru masuk Islam minum minuman keras karena kebiasaannya sebelum masuk Islam dan tidak tau bahwa minuman semacam itu dilarang (haram). Maka orang tersebut dimaafkan untuk permulaannya karena ketidaktahuannya. Selanjutnya, setelah dia tau bahwa perbuatan tersebut adalah haram, maka ia harus menghentikan perbuatan haram tersebut.
i.        Kaidah kesembilan
“Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada yang lainnya”
Misalnya penjual boleh menjual kembali karung bekas tempat beras, karena karung mengikuti kepada beras yang dijual. Demikian juga boleh mewakafkan kebun yang sudah rusak tanamannya karena tanaman mengikuti tanah yang diwakafkan.[7]




















BAB III
PEMBAHASAN
A.    Pengertian kaidah “Adh-Dhararu Yuzalu”
Arti dari kaidah “ad-Dhararu yuzalu” adalah kemudharatan/kesulitan harus dihilangkan. Jadi konsepsi kaidah ini memberikan pengertian bahwa manusia harus dijauhkan dari idhrar (tindak menyakiti), baik oleh dirinya maupun orang lain, dan tidak semestinya ia menimbulkan bahaya (menyakiti) pada orang lain.[8]

Namun Dharar (Dharar) secara etimologi adalah berasal dari kalimat "adh Dharar" yang berarti sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat menahannya. Sedangkan Dharar secara terminologi menurut para ulama ada beberapa pengertian diantaranya adalah:
1.      Dharar ialah posisi seseorang pada suatu batas dimana kalau tidak mau melanggar sesuatu yang dilarang maka bisa mati atau nyaris mati. Nah hal seperti ini memperbolehkan ia melanggarkan sesuatu yang diharamkan dengan batas batas tertentu.
2.   Abu Bakar Al Jashas, mengatakan  “Makna Dharar disini adalah ketakutan seseorang pada bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota badannya karena ia tidak  makan”.
3.      Menurut Ad Dardiri, “Dharar ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan yang teramat sangat”.
4.      Menurut sebagian ulama dari Madzhab Maliki, “Dharar ialah mengkhawatirkan diri dari kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan”.
5.      Menurut Asy Suyuti, “Dharar adalah posisi seseorang pada sebuah batas dimana kalau ia tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau nyaris binasa.[9]
            Dharar disini  menjaga jiwa dari kehancuran atau posisi yang sangat mudharat sekali, maka dalam keadaan seperti ini kemudaratan itu membolehkan sesuatu yang dilarang.
Berdasarkan pendapat para ulama di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Dharar adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia.[10]



B.     Dasar-Dasar pengambilan kaidah “Ad-Dhararu Yuzalu”

Kaidah ini menunjukkan bahwa kemadharatan itu telah terjadi atau akan terjadi, dengan demikian setiap kemadharatan memang harus dihilangkan.
Dasar dari kaidah ini adalah firman Allah dalam surat al-A’raf ayat 7: 56:
ŸArtinya: dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.[11] (Q.S al-a’raf 7: 56)
Surat al-Qashash ayat 77:

Artinya: dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.[12] (Q.S al-Qashash 28: 77)
Hadits nabi SAW yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas:
"Tidak diperbolehkan membuat kemadharatan pada diri sendiri dan kemadharatan pada orang lain".[13]
Masalah-masalah yang dapat mempergunakan kaidah ini banyak sekali, diantaranya: khiyar, syuf’ah, hudud, kafarat, memilih pemimpin, fasakh dalam nikah karena ada aib dan sebagainya[14]

C.    Perbedaan antara Masyaqqat dan Dharar
1.      Masyaqqat adalah suatu kesulitan yang menghendaki adanya kebutuhan (hajat) tentang sesuatu, dan jika tidak terpenuhi tidak akan mempengaruhi eksistensi manusia, sedang Dharar adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika tidak terselesaikan akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta, serta kehormatan manusia.
2.  Masyaqqat waktu terjadinya relative lama dan bias terjadi terus-menerus, sedangkan Dharar relative singkat
3.      Masyaqqat solusi alternativenya banyak, sedangkan Dharar hanya ada satu
4.        Dengan adanya Masyaqqat akan mendatangkan kemudahan dan adanya Dharar akan ada penghapusan hukum.
Dengan demikian adanya Rukhsoh (keringanan) dan penghapusan Dharar akan mendatangkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia, dan dalam konteks ini keduanya tidak mempunyai perbedaan. (Wahbah az-Zuhaili, 1982: 218)

D.    Uraian Kaidah “Ad-Dhararu Yuzalu”
Islam tidak menghendaki adanya kemudaratan bagi pemeluknya, maka harus dihilangkan jika ada. Kaedah ini sering diungkapakan melalui hadis rasulullah:
“ tidak boleh memberi memudaratkan dan membalas kemudaratan ”[15]
Para ulama berbeda pendapat tentang perkataan dharar dan dhirar yaitu:
1.      Al-Husaini mengartikan al-dharar dengan “bagimu ada manfaat tapi bagi tetanggamu ada mudarat”. Sedangkan al-dhirar diartikan dengan  “bagimu tidak ada manfaatnya dan bagi orang lain memudaratkan”.
2.      Ulama lain mengartikan al-dharar dengan “ membuat kemudaratan” dan al-dhirar diartikan membawa kemudaratan diluar ketentuan syari’ah.
Contoh, jika seseorang tetangga membuat saluran air untuk rumahnya yang menyebabkan kerapuhan tembok (dinding) rumah tetangganya sehingga dapat membuatnya roboh, maka pembuatan saluran air ini tidak diperbolehkan karena alasan ini dan mengingat bahaya yang begitu jelas di dalamnya.
Dari sini para ahli hukum dalam menetapkan asas hukum umum dalam perhubungan bertetangga rumah, bahwa kebebasan tetangga dalam menjalankan hak kepemilikannya dibatasi dengan keharusan tidak mendatangkan bahaya dan kerusakan yang nyata pada hak tetangganya.
Dalam segala kondisi, seseorang tidak dapat dipaksa untuk menghilangkan haknya yang berpotensi menyebabkan kemudaratan bagi orang lain (tetangganya) jika memang ia lebih dahulu ada sebelum Sitetangga. Misalnya, jika seseorang menempati atau membangun rumah disamping pabrik roti yang telah berdiri sebelum ia menempati atau membangun rumah tersebut, maka ia tidak berhak menuntut penutupan pabrik tersebut dengan alasan efek negatif yang diterima dirinya. Hal itu dikarenakan ia sendiri yang memasuki wilayah bahaya dengan keinginan dan pilihannya sendiri.
“ Diambil mudarat yang lebih ringan diantara dua mudarat ” artinya, apabila suatu perkara atau tindakan menyebabkan suatu bahaya yang tidak dapat dihilangkan kecuali dengan satu tindakan bahaya lainnya yang salah satu dari kedua bahaya tersebut lebih besar dari pada yang lainnya, maka bahaya yang lebih besar dihilangkan dengan yang lebih kecil. Namun, apabila tindakan tersebut mendatangkan akibat yang lebih besar, maka tidak boleh dilakukan.
Jika terkait dengan kemudartan umum (bahaya sosial), maka tidak lagi dilihat apakah penyebab bahaya tersebut terlebih dahulu ada atau baru, tetapi dalam keadaan apapun bahaya ini harus dihilangkan. Contohnya barang siapa yang membangun tenda besar ditengah jalan umum atau membangun jembatan yang mempersulit arus lalu lintas, maka ia dapat diperintahkan untuk menghancurkannya, meskipun memakan waktu yang lama.[16] Ada juga contoh lainnya mengenai kaidah ad-dhararu yuzalu  antara lain:
1.        Larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat karena perbuatan tersebut mengakibatkan kemudaratan bagi rakyat.
2.      Larangan menghancurkan pohon-pohon, membunuh anak kecil, orang tua, wanita, dan orang-orang yang tidak terlibat peperangan dan pendeta agama lain adalah untuk menghilangkan kemudaratan.
3.   Kewajiban berobat dan larangan membunuh diri juga untuk menghilangkan kemudaratan.
4.    Larangan murtad dari agama islam dan larangan mabuk-mabukan juga untuk menghilangkan kemudaratan.[17]

E.     Cabang-Cabang Kaidah “Ad-Dhararu Yuzalu”
Sebagai kaidah pokok, ada beberapa kaidah yang menginduk pada kaidah ini, yaitu:

Kaidah pertama:
"Madharat itu dapat memperbolehkan yang diharamkan"
Dasar nash dari kaidah di atas adalah firman Allah:
Artinya: “Dan sesunguhnya Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang diharamkan-Nya atasmukecualiapa yang terpaksa kamu memakannya”[18](.QS. al-An’am:119)
Artinya: “Maka barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedangkan ia tidak menginginkannya, serta tidak melampaui batas maka tiada dosa baginya”[19].(QS. Al-Baqarah : 173)
Melihat ayat di atas, tidak semua keterpaksaan itu memperbolehkan yang haram, namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan yang benar-benar tidak ada jalan lain kecuali hanya melakukan itu, dalam kondisi ini maka yang haram dapat diperbolehkan memakainya. Misalnya seseorang di hutan tiada menemukan makanan sama sekali kecuali babi hutan dan bila ia tidak memakannya akan mati, maka babi hutan itu dapat dimakan sebatas keperluannya.
Batasan kemadharatan adalah suatu hal yang mengancam eksistensi manusia, yang terkait dengan panca tujuan yaitu: memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara kehormatan atau harta benda. Dengan demikian Dharar itu terkait dengan dharuriyah, bukan hajiyah dan tahsiniyah. Sedangkan hajat (kebutuhan) terkait dengan hajiyah dan tahsiniyah. Karena itu terdapat kaidah:
“Tiada keharaman baagi Dharar dan tidak ada kemakruhan bagi kebutuhan”(Abdul Hamid Hakim, 1956:81).

Kaidah kedua:

“Apa yang diperbolehkan karena Dharar maka diukur menurut kadar kemadharatannya” (as-Suyuthi, TT:60).
Contoh kaidah di atas adalah: kebolehan memakan bangkai bagi seseorang hanya sekadar dalam ukuran untuk mempertahankan hidup, tidak boleh melebihi.

Kaidah ketiga:
“Keterpaksaan itu tidak dapat membatalkan hak orang lain” (Wahbah az-Zuhaili 1982:259)
Misalnya seseorang dalam keadaan lapar, dan dia akan mati jika ia tidak makan, dan jalan satu-satunya mendapat makanan adalah mencuri, maka ia tidak boleh melakukannya, karena pengguguran terhadap keterpaksaan ini mengganggu hak orang lain, maka jalan keluar orang tersebut adalah boleh makan makanan yang haram seperti babi, bangkai dan sebagainya.

Kaidah keempat:
“kemadharatan itu tidak bisa dihilangkan dengan kemadhratan yang lain” (as-Suyuthi,TT:61)
Kaedah ini semakna dengan kaedah:
“ kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan yang sebanding”
Maksud kaedah itu adalah kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan cara melakukan kemudharatan lain yang sebanding keadaannya. Misalnya, seseorang debitor tidak mau membayar utangnya padahal waktu pembayaran sudah habis. Maka dalam hal ini tidak boleh kreditor mencuri barang debitor sebagai pelunasan terhadap hutangnya.
Contoh lain seorang dokter tidak boleh melakukan donor darah dari satu orang ke orang lain jika hal itu menyebabkan si pendonor menderita sakit lebih parah dari yang menerima donor.
Kebolehan berbuat atau meninggalkan sesuatu karena Dharar adalah untuk memenuhi penolakan terhadap bahaya, bukan selain ini. Dalam kaitan ini Dr. Wahbah az-Zuhaili membagi kepentingan manusia akan sesuatu dengan 5 klasifikasi, yaitu:
a.         Dharar, yaitu kepentingan manusia yang diperbolehkan menggunakan sesuatu yang dilarang, karena kepentingan itu menempati puncak kepentingan manusia, bila tidak dilaksanakan maka mendatangkan kerusakan. Kondisi semacam ini memperbolehkan segala yang diharamkan atau dilarang, seperti memakai pakaian sutra bagi laki-laki yang telanjang , dan sebagainya.
b.  Hajat, yaitu kepentingan manusia akan sesuatu yang bila tidak dipenuhi mendatangkan kesulitan atau mendekati kerusakan. Kondisi semacam ini tidak menghalalkan yang haram. Misalnya seorang laki-laki yang tidak mampu berpuasa maka diperbolehkan berbuka dengan makanan halal, bukan makanan haram.
c.     Manfaat, yaitu kepentingan manusia untuk menciptakan kehidupan yang layak. Maka hukum diterapkan menurut apa adanya karena sesungguhnya hukum itu mendatangkan manfaat. Misalnya makan makanan pokok seperti beras, ikan, sayur-mayur, lauk-pauk, dan sebagainya.
d.      Zienah, yaitu kepentingan manusia yang terkait dengan nilai-nilai estetika.
e.    Fudhul, yaitu kepentingan manusia hanya sekedar utuk berlebih-lebihan, yang memungkinkan mendatangkan kemaksiatan atau keharaman. Kondisi semacam ini dikenakan hukum saddu adz dzariah, yakni menutup segala kemungkinan yang mendatangkan mafsadah. (Wahbah az-Zuhaili, 1982:246-247)
Contoh kaidah di atas adalah kebolehan memakan bangkai bagi seseorang hanya sekadar dalam ukuran untuk mempertahankan hidup, tidak boleh melebihi.

Kaidah kelima :
“Apa yang diizinkan karena adanya udzur, maka keizinan itu hilang manakala udzurnya hilang.” (wahbah az-Zuhaili, 1982:245)
Misalnya kebolehan tayammum bagi seseorang yang lagi sakit, maka ketika sudah sembuh kebolehan tayammum itu hilang atau tidak perlaku lagi.

Kaidah keenam:
“Kemudahan itu tidak dapat digugurkan dengan kesulitan” (Wahbah az-Zuhaili, 1982:257)
Kaidah tersebut menurut Ibnu Subki diambil dari sabda nabi SAW:
“Apabila aku perintahkan kalian dengan suatu perintah maka lakukanlah perintah itu semampu kalian”
Misalnya seorang yang buntung tangan atau kakinya maka cara wudhunya cukup membasuh yang ada, kalau tidak ada sama sekali maka cukup membasuh anggota yang paling ujung sendiri.

Kaidah ketujuh:
“Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada mendapatkan kemaslahatan, dan apabila berlawanan antara mafsadah dan maslahah maka yang didahulukan adalah menolak mafsadahnya” (as-Suyuthi, TT:62)
Kaidah tersebut diilhami oleh hadits nabi SAW yang artinya:
“Apabila aku telah memerinahkanmu dengan suatu perintah maka kerjakanlah perintah itu semampumu, tetapi jika aku telah melarang padamu tentang sesuatu maka jauhilah”.(HR. Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah)"
Misalnya seseorang diprintahkan shalat dalam keadaan berdiri, namun ia tidak mampu melaksanakannya, maka shalat itu dapat dikerjakan dengan duduk atau berbaring. Menolak madharat didahulukan karena kerusakan akan berakibat pada hilangnya manfaat. Misalnya minum khomr itu disamping ada madharatnya merusak akal dan menghambur-hamburkan uang sedang manfaatnya untuk menguatkan badan , walaupun demikian maka yang dimenangkan adalah menolak kerusakannya.

Kaidah kedelapan:
“Apabila dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar madharatnya dengan memilih yang lebih ringan madharatnya” (Abdul Hamid Hakim, 1956:82)
Misalnya diperbolehkan mengadakan pembedahan perut wanita yang mati jika dimungkinkan bayi yang dikandungnya dapat diselamatkan. Demikian juga boleh shalat denga bugil jika tidak ada alat penutup sama sekali.

Kaidah kesembilan:
“Kebutuhan umum atau khusus dapat menduduki tempat Dharar” (Wahbah az-Zuhaili, 1982:261)
Kaidah diatas menunjukkkan bahwa keringanan itu tidak hanya berlaku bagi kemadharatan, baik kebutuhan umum maupun khusus, sehingga dapat dikatakan bahwa keringanan itu diperbolehkan karena kebutuhan sebagaimana kebolehan keringanan atas kemadharatan, karena itu hajat itu hampir sama kedudukannya dengan mudharat.
Misalnya, pada dasarnya transaksi jual beli diharuskan terpenuhi semua rukun dan syaratnya, namun untuk mempermudah transaksi tersebut maka diperbolehkan akad salam (pesanan) walaupun pada dasarnya hal itu tidak mengikuti hukum asal.
Perbedan Dharar dan Hajat:
a.       Dharar lebih berat keadaanya sedangkan hajat hanya sekedar butuh.
b.   Hukum Dharar dalam mengecualikan terhadap hukum yang sudah diterapkan walaupun terbatas waktu dan kadarnya, misalnya wajib menjadi mubah, haram menjadi mubah. Sedang hukum hajat tidak dapat mengubah hukum nash yang sudah jelas.(Wahbah az-Zuhaili, 1982:273-274)
Sedang syarat adanya hajat adalah sebagai berikut :
a.       ia membutuhkan atas ketidak berlakuan hukum asal karena adanya kesulitan (hajat atau masyaqqat) yang tidak bisa terjadi.
b.      Sesuatu yang dihajati itu patut menggunakan hukum istisna’(pengecualian) bagi individu menurut kebiasaan.
c.     Hajat yang dihadapi merupakan hajat yang jelas untuk suatu tujuan bagi hukum syara’.
d.   Kedudukan hajat sama dengan Dharar dalam aspek penggunaan kadar yang dibutuhkan. (Wahbah az-Zuhaili, 1982:275-276)
Jumhur ulama menggunakan keringanan-keringanan dalam hajat atau Dharar jika ternyata hajat dan Dharar itu memenuhi syarat-syaratnya.
































BAB IV
PENUTUP

Al-Masyaqqah menurut ahli bahasa (etimologis) adalah al-ta’ab yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan, dan kesukaran.
Sedang Al Taysir secara etimologis berarti kemudahan.
Jadi makna kaidah tersebut adalah kesulitan menyebabkan adanya kemudahan. Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penarapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukkallaf (subjek hukum), sehingga syariah meringankannya sehingga mukkallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.
Para ulama membagi masyaqqah ini menjadi tiga bagian :
  1. al-Masyaqqah al-‘Azhimmah ( kesulitan yang sangat berat),
  2. al-Masyaqqah al-mutawasithah (kesulitan yang pertengahan, tidak sangat berat juga sangat tidak ringan),
  3. al-Masyaqqah al-Khafifah ( kesulitan yang ringan).
  4. Sebab-Sebab Adanya Kesulitan
Abdurrahman as Suyuti dalam al Asyba’ wan Nadhoirnya menyebutkan 7 macam sebab-sebab yang menyebutkan kesulitan :
Karena safar (bepergian), Keadaan sakit, Keadaan terpaksa yang membahayakan kepada kelangsungan hidupnya, Lupa (al nisyam), Karena Jahl (Bodoh), Karena, Usrun dan Umumul Balwa (Kesulitan), Karena Naqsh (Kekurangan).
Arti dari kaidah “ad-Dhararu yuzalu” adalah kemudharatan/kesulitan harus dihilangkan. Jadi konsepsi kaidah ini memberikan pengertian bahwa manusia harus dijauhkan dari idhrar (tindak menyakiti), baik oleh dirinya maupun orang lain, dan tidak semestinya ia menimbulkan bahaya (menyakiti) pada orang lain.[20]

Namun Dharar (Dharar) secara etimologi adalah berasal dari kalimat "adh Dharar" yang berarti sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat menahannya.




DAFTAR PUSTAKA

Djazuli, A, Kaidah-Kaidah Fiqh. Jakarta : Kencana: 2006
Ustman, Mukhlis, Kaidah-Kaidah ushuliyah dan Fiqhiyah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada: 1997
Mukhlis usman, MA. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah. Jakarta: Raja Grafindo Persada:1997.
Al Burnu, Muhammad Shiddiq bin Ahmad, al-Wajiz fi Idhah, al-Qawai’id al Fiqhiyah, cet I, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1404 H/1983 M),

Nashr farid Muhammad washil, Qawa’id Fiqhiyyah,

Pondok pasantren islam nirul iman, Dhorurat dalam Perspektif Islam, http://ppnuruliman.com/artikel/fikih/228-dhorurat-dalam-perspektif-islam.html, 19/04/2014, 02.19 WIB

Nur Alim, Ad-Dhararu Yuzalu, http://noeraliem.blogspot.com/2010/10/ad-dhararu-yuzalu-kemudharatan-itu.html, 19/04/2014, 02.23 WIB

Abdul hamid hakim, as-sullam, juz II, Jakarta: maktabah as-sa’diyah putra,


Musbik imam, qawa’id al-fiqfiyah, Jakarta:PT rajagrafindopersada, 2001,



[1]Prof. H. A. Djazuli. Kaidah-Kaidah Fiqih. Jakarta:Kencana, 2006. hal 55
[2]Al Burnu, Muhammad Shiddiq bin Ahmad, al-Wajiz fi Idhah, al-Qawai’id al Fiqhiyah, cet I, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1404 H/1983 M), hal. 129
[3]Ibid, hal 126
[4]Ibid, hal 127
[5]Prof. H. A. Djazuli. Kaidah-Kaidah Fiqih. Jakarta:Kencana, 2006. hal 57-58
[6]Ibid, hal 58
[7]Ibid, hal 59-65
[8]Nashr farid Muhammad washil, Qawa’id Fiqhiyyah, hlm17.
[9]Ibid, hal 125
[10]Prof. H. A. Djazuli. Kaidah-Kaidah Fiqih. Jakarta:Kencana, 2006. hal 55
[11]Al Burnu, Muhammad Shiddiq bin Ahmad, al-Wajiz fi Idhah, al-Qawai’id al Fiqhiyah, cet I, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1404 H/1983 M), hal. 129
[12]Ibid, hal 126
[13]Ibid, hal 127
[14]Prof. H. A. Djazuli. Kaidah-Kaidah Fiqih. Jakarta:Kencana, 2006. hal 57-58
[15]Ibid, hal 58
[16]Ibid, hal 59-65
[17]Djuzuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Kencana, 2007), Cet.2, h.68
[18]QS. al-An’am:119
[19]QS. Al-Baqarah : 173

[20]Nashr farid Muhammad washil, Qawa’id Fiqhiyyah, hlm17.

No comments:

Post a Comment