Sunday, August 10, 2014

pengertian al-urf



MAKALAH USHUL FIQH
“KAIDAH FIQHIYAH DAN ‘URF ATAU ADAT”
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas kelompok mata kuliah Ushul Fiqh
Dosen Pengampu: Moch. Nur Ichwan


JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014

BAB I


PENDAHULUAN



A. PENDAHULUAN


Kebiasaan masyarakat sehari-hari, jika dibenturkan dengan hukum Islam memerlukan penyelarasan sedemikian rupa. Hal tersebut dikarenakan pedoman hidup Umat Islam yaitu Al-Qur‟an dan Sunnah Rosulullah SAW. Memerlukan  penafsiran yang mendalam. Kadang suatu ayat atau hadits diperuntukan bagi kondisi khusus pada waktu tertentu pada saat ayat tersebut diturunkan. Kemudian persoalan yang di hadapi umat masa kini sulit menemukan solusi dalam penetapan hukumnya. Untuk menjawab persoalan masyarakat, ushul fiqh datang sebagai yang menyatu  dengan masyarakat,  berbaur dengan segala  problematikanya, bahkan menawarkan ribuan, atau mungkin jutaan solusi yang sangat strategis dan relevan. Salah satu pembahasan tentang ushul fiqh adalah urf. Urf membahas tentang kebiasaan masyarakat yang memiliki nilai yang relevan dengan syari‟at Islam.





























BAB II


PEMBAHASAN


A.    Al-'Urf/ al-Adah


1.        Pengertian al-'Urf


Dari segi kebahasaan (etimologi) al-'urf berasal dari kata yang terdiri dari huruf 'ain, ra' dan fa' yang berarti kenal. Dari kata ini muncul kata ma'rifah (yang dikenal), ta'arif (definisi), kata ma'ruf (yang dikenal sebagai kebaikan), dan kata 'urf (kebiasaan yang baik). Adapun dari segi terminologi, dalam bukunya Dr.H.Abd. Rahman Dahlan,M.A kata 'urf megandung makna :


Sesungguhnya yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka mengikutinya dalam bentuk setiap perbuatan yang populer diantara mereka, ataupun sesuatu kata yang biasa mereka kenal dalam pengertian tertentu, bukan dalam pengertian etimologi, dan ketika mendengar kata itu, mereka tidak memahaminya dalam pengertian lain.[1]

jadi demikianlah pengertian al-'urf menurut Dahlan, searti dengan pengertian al-'urf menurut Amirul Haj bahwa adat lebih lengkap dari pada 'urf. Jika adat bersumber urusan tabi'at atau akal, dan diterima oleh tabi'at yang sejahtera maka dia dinamai 'urf.[2] Jika sumbernya hawa nafsu, maka ia dinamai adat yang merusak.


'Urf merupakan suatu dalil hukum. Ahli fiqh sepakat menetapkan bahwa 'urf secara umum merupakan suatu dalil untuk mengetahui hukum fiqh apabila tiada di peroleh nash, baik dari kitabullah maupun dari sunnah Rasul saw.


2.        Pembagian al-'Urf


Pembagian atau macam-macam ‘urf itu dapat dilihat dari beberapa segi:


a)      Ditinjau dari segi materi yang biasa dilakukan. Dari segi ini ‘urf itu ada dua macam:


1)      'Urf qauli : "mempergunakan suatu kalimat untuk sesuatu arti yang terbatas, seperti mempergunakan kalimat "daab bah" untuk binatang yang empat kaki, dan mempergunakan kalimat "walad" untuk anak lelaki"


2)      'Urf amali : "suatu yang telah dibiasai, seperti jual beli secara mu'athah dan seperti 'urf-'urf yang biasa berlaku antara tukang-tukang dan pekerja"


b)      Dari segi ruang lingkup penggunaannya, ‘urf terbagi kepada:


1)      Adat atau ‘urf umum, yaitu kebiasaan yang telah umum berlaku dimana-mana, hamper diseluruh penjuru dunia, tanpa memandang negara, bangsa dan agama.


2)      Adat atau ‘urf khusus, yaitu kebiasaan yang dilakukan sekelompok orang ditempat tertentu atau pada waktu tertentu; tidak berlaku di semua tempat dan di sembarang waktu.


c)      Dari segi penilaian baik dan buruk, ‘adat atau ‘urf itu terbagi kepada:


1)      ‘Adat yang shahih, yaitu ‘adat yang berulang-ulang dilakukan, diterima oleh banyak orang, tidak bertentangan dengan agama, sopan santun dan budaya yang luhur.


2)      ‘Adat yang fasid, yaitu adat yang berlaku di suatu tempat meskipun merata pelaksanaannya, namun bertentangan dengan agama, undang-undang negara dan sopan santun. [3]


3.        Kedudukan ‘Urf dalam Menetapkan Hukum


Dalam literatur yang membahas kehujahan ‘urf  atau ‘adat dalam istinbath hukum, hampir selalu yang dibicarakan adalah tentang ‘urf atau ‘adat secara umum. Secara umum ‘urf atau ‘adat itu diamalkan oleh semua ulama fiqh terutama dikalangan ulama mazhab Hanafiyah dan Malikiyah.


Ulama Hanafiyah menggunakan istihsan a; ‘urf dalam berijtihad dan salah satu bentuk istihsan itu adalah istihsan al ‘urf (istihsan yang menyandarkan pada ‘urf). Oleh ulama Hanafiyah, ‘urf itu didahulukan atas qiyas khafi dan juga didahulukan atas nash yang umum, dalam arti: ‘urf itu men-takhsis umum nash.


Ulama Malikiyah menjadikan ‘urf atau tradisi yang hidup dikalangan ahli Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hokum dan mendahulukannya dari hadis ahad.


Ulama Syafi’iyah banyak menggunakan ‘urf dalam hal-hal tidak menemukan ketentuan batasannya dalam syara’ maupun dalam penggunaan bahasa.


Bila hukum telah ditetapkan berdasarkan ‘urf, maka kekuatannya menyamai hukum yang ditetapkan berdasarkan nash.


Para ulama yang mengamalkan ‘urf itu dalam memahami dan meng-istinbath-kan hukum, menetapkan beberapa persyaratan untuk menerima ‘urf tersebut, yaitu:


a.       ‘Adat atau ‘urf itu bernilai maslahat dan dapat diterima akal sehat.


b.      ‘Adat atau ‘urf itu berlaku umum dan merata di kalangan orang-orang yang berada dalam lingkungan ‘adat itu, atau dikalangan sebagian besar warganya.


c.       ‘Urf  yang dijadikan sandaran dalam penetapan hukum itu telah ada (berlaku) pada saat itu, bukan ‘urf  yang muncul kemudian.


d.      Adat tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara’ yang ada atau bertentangan dengan prinsip yang pasti.[4]


Dari uraian diatas jelas lah bahwa ‘urf  atau ‘adat itu digunakan sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Namun penerimaan ulama atas ‘adat itu bukanlah karena semata-mata ia bernama ‘adat atau ‘urf. ‘Urf atau ‘adat itu bukan lah dalil yang berdiri sendiri. ‘adat atau ‘urf itu menjadi dalil karena ada yang mendukung, atau ada tempat sandarannya, baik dalam bentuk ijma atau maslahat. ‘adat yang berlaku dikalangan umat berarti telah diterima sekian lama secara baik oleh umat. Bila semua ulama telah mengamalkannya, berarti secara tidak langsung telah terjadi ijma, walaupun dalam bentuk sukuti.


‘Adat itu berlaku dan diterima orang banyak karena mengandung kemaslahatan. Tidak memakai ‘adat seperti ini berarti menolak maslahat, sedangkan semua pihak telah sepakat untu mengambil sesuatu yang bernilai maslahat, meskipun tidak ada nas yang secara langsung mendukungnya.














BAB III


PENUTUP


A.    KESIMPULAN


1.      Kata ‘Urf secara etimologi berarti “ sesuatu yang di pandang baik dan diterima oleh akal sehat”


2.      Dari segi objeknya ‘Urf dibagi kepada : al-‘urf al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan al-‘urf al-amali ( kebiasaan yang berbentuk perbuatan).


3.      Dari segi cakupannya, ‘urf terbagi dua yaitu al-‘urf al-‘am kebiasaan yang bersifat umum) dan al-‘urf al-khash (kebiasaan yang bersifat khusus).


4.      Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf terbagi dua; yaitu al’urf al-shahih ( kebiasaan yang dianggap sah) dan al-‘urf al-fasid ( kebiasaan yang dianggap rusak).


5.      Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ‘urf al-shahih, yaitu ‘urf yang tidak bertentangan dengan syara’.























DAFTAR PUSTAKA


Dahlan, Abd. Rahman (2011), Ushul Fiqh. Jakarta; Amzah.


Ash Shiddieqy, Nasbi (1978), Pengantar Ilmu Fiqh. Jakarta;Bulan Bintang.


Syarifuddin, H. Amir (2008), Uhul Fiqh. Jakarta; Kencana.





[1] Dr.H.Abd.Rahman Dahlan,M.A,2011 Ushul Fiqh (Jakarta; Amzah)hlm 209


[2] Prof.Dr.T.M.Nasbi Ash Shiddieqy, 1978 Pengantar Ilmu Fiqh (Jakarta; Bulan Bintang)hlm213


[3] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, 2008, Ushul Fiqh Jilid 2, ( Jakarta; Kencana) hlm. 392

[4] Ibid, hlm. 402-403.





No comments:

Post a Comment