MAKALAH USHUL FIQH
“KAIDAH FIQHIYAH DAN ‘URF ATAU ADAT”
Makalah ini
disusun guna memenuhi tugas kelompok mata kuliah Ushul Fiqh
Dosen Pengampu:
Moch. Nur Ichwan
JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. PENDAHULUAN
Kebiasaan masyarakat sehari-hari,
jika dibenturkan dengan hukum Islam memerlukan penyelarasan sedemikian rupa.
Hal tersebut dikarenakan pedoman hidup Umat Islam yaitu Al-Qur‟an dan Sunnah
Rosulullah SAW. Memerlukan
penafsiran yang mendalam. Kadang suatu ayat atau hadits diperuntukan bagi
kondisi khusus pada waktu tertentu pada saat ayat tersebut diturunkan.
Kemudian persoalan yang di hadapi umat masa kini sulit menemukan solusi
dalam penetapan hukumnya. Untuk
menjawab persoalan masyarakat, ushul fiqh datang sebagai yang menyatu
dengan masyarakat, berbaur dengan
segala problematikanya, bahkan menawarkan
ribuan, atau mungkin jutaan solusi yang sangat strategis dan relevan. Salah
satu pembahasan tentang ushul fiqh adalah urf. Urf membahas tentang kebiasaan masyarakat yang memiliki nilai yang relevan
dengan syari‟at Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Al-'Urf/ al-Adah
1.
Pengertian al-'Urf
Dari segi kebahasaan (etimologi) al-'urf berasal
dari kata yang terdiri dari huruf 'ain, ra' dan fa' yang
berarti kenal. Dari kata ini muncul kata ma'rifah (yang dikenal), ta'arif
(definisi), kata ma'ruf (yang dikenal sebagai kebaikan), dan kata 'urf
(kebiasaan yang baik). Adapun dari segi terminologi, dalam bukunya
Dr.H.Abd. Rahman Dahlan,M.A kata 'urf megandung makna :
Sesungguhnya yang menjadi kebiasaan manusia,
dan mereka mengikutinya dalam bentuk setiap perbuatan yang populer diantara
mereka, ataupun sesuatu kata yang biasa mereka kenal dalam pengertian tertentu,
bukan dalam pengertian etimologi, dan ketika mendengar kata itu, mereka tidak
memahaminya dalam pengertian lain.[1]
jadi demikianlah pengertian al-'urf menurut Dahlan, searti dengan pengertian al-'urf menurut Amirul Haj bahwa adat lebih lengkap dari pada 'urf. Jika adat bersumber urusan tabi'at atau akal, dan diterima oleh tabi'at yang sejahtera maka dia dinamai 'urf.[2] Jika sumbernya hawa nafsu, maka ia dinamai adat yang merusak.
'Urf merupakan suatu dalil hukum. Ahli fiqh sepakat menetapkan
bahwa 'urf secara umum merupakan suatu dalil untuk mengetahui hukum fiqh
apabila tiada di peroleh nash, baik dari kitabullah maupun dari sunnah Rasul
saw.
2.
Pembagian al-'Urf
Pembagian atau
macam-macam ‘urf itu dapat dilihat dari beberapa segi:
a)
Ditinjau
dari segi materi yang biasa dilakukan. Dari segi ini ‘urf itu ada dua macam:
1)
'Urf qauli : "mempergunakan suatu kalimat untuk
sesuatu arti yang terbatas, seperti mempergunakan kalimat "daab bah"
untuk binatang yang empat kaki, dan mempergunakan kalimat "walad"
untuk anak lelaki"
2)
'Urf amali : "suatu yang telah dibiasai, seperti
jual beli secara mu'athah dan seperti 'urf-'urf yang biasa berlaku antara
tukang-tukang dan pekerja"
b)
Dari
segi ruang lingkup penggunaannya, ‘urf terbagi kepada:
1)
Adat atau ‘urf umum, yaitu kebiasaan yang telah umum berlaku
dimana-mana, hamper diseluruh penjuru dunia, tanpa memandang negara, bangsa dan
agama.
2)
Adat atau ‘urf khusus, yaitu kebiasaan yang dilakukan sekelompok
orang ditempat tertentu atau pada waktu tertentu; tidak berlaku di semua tempat
dan di sembarang waktu.
c)
Dari
segi penilaian baik dan buruk, ‘adat atau ‘urf itu terbagi
kepada:
1)
‘Adat yang shahih, yaitu ‘adat yang berulang-ulang dilakukan,
diterima oleh banyak orang, tidak bertentangan dengan agama, sopan santun dan
budaya yang luhur.
2)
‘Adat yang fasid, yaitu adat yang berlaku di suatu tempat
meskipun merata pelaksanaannya, namun bertentangan dengan agama, undang-undang
negara dan sopan santun. [3]
3.
Kedudukan
‘Urf dalam Menetapkan Hukum
Dalam literatur yang membahas kehujahan ‘urf atau ‘adat dalam istinbath hukum,
hampir selalu yang dibicarakan adalah tentang ‘urf atau ‘adat
secara umum. Secara umum ‘urf atau ‘adat itu diamalkan oleh semua ulama fiqh
terutama dikalangan ulama mazhab Hanafiyah dan Malikiyah.
Ulama Hanafiyah menggunakan istihsan a; ‘urf dalam
berijtihad dan salah satu bentuk istihsan itu adalah istihsan al ‘urf
(istihsan yang menyandarkan pada ‘urf). Oleh ulama Hanafiyah,
‘urf itu didahulukan atas qiyas khafi dan juga didahulukan atas nash
yang umum, dalam arti: ‘urf itu men-takhsis umum nash.
Ulama Malikiyah menjadikan ‘urf atau tradisi yang hidup
dikalangan ahli Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hokum dan
mendahulukannya dari hadis ahad.
Ulama Syafi’iyah banyak menggunakan ‘urf dalam hal-hal tidak
menemukan ketentuan batasannya dalam syara’ maupun dalam penggunaan
bahasa.
Bila hukum telah ditetapkan berdasarkan ‘urf, maka
kekuatannya menyamai hukum yang ditetapkan berdasarkan nash.
Para ulama yang mengamalkan ‘urf itu dalam memahami dan
meng-istinbath-kan hukum, menetapkan beberapa persyaratan untuk menerima
‘urf tersebut, yaitu:
a.
‘Adat atau ‘urf itu bernilai maslahat dan dapat diterima akal
sehat.
b.
‘Adat atau ‘urf itu berlaku umum dan merata di kalangan
orang-orang yang berada dalam lingkungan ‘adat itu, atau dikalangan sebagian
besar warganya.
c.
‘Urf yang
dijadikan sandaran dalam penetapan hukum itu telah ada (berlaku) pada saat itu,
bukan ‘urf yang muncul kemudian.
d.
‘Adat tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara’ yang ada
atau bertentangan dengan prinsip yang pasti.[4]
Dari uraian diatas jelas lah bahwa ‘urf atau ‘adat itu digunakan sebagai
landasan dalam menetapkan hukum. Namun penerimaan ulama atas ‘adat itu bukanlah
karena semata-mata ia bernama ‘adat atau ‘urf. ‘Urf atau ‘adat
itu bukan lah dalil yang berdiri sendiri. ‘adat atau ‘urf itu
menjadi dalil karena ada yang mendukung, atau ada tempat sandarannya, baik
dalam bentuk ijma atau maslahat. ‘adat yang berlaku dikalangan umat
berarti telah diterima sekian lama secara baik oleh umat. Bila semua ulama
telah mengamalkannya, berarti secara tidak langsung telah terjadi ijma,
walaupun dalam bentuk sukuti.
‘Adat itu berlaku
dan diterima orang banyak karena mengandung kemaslahatan. Tidak memakai ‘adat
seperti ini berarti menolak maslahat, sedangkan semua pihak telah sepakat untu
mengambil sesuatu yang bernilai maslahat, meskipun tidak ada nas yang secara
langsung mendukungnya.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1.
Kata
‘Urf secara etimologi berarti “ sesuatu yang di pandang baik dan diterima oleh
akal sehat”
2.
Dari
segi objeknya ‘Urf dibagi kepada : al-‘urf al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut
ungkapan) dan al-‘urf al-amali ( kebiasaan yang berbentuk perbuatan).
3.
Dari
segi cakupannya, ‘urf terbagi dua yaitu al-‘urf al-‘am kebiasaan yang bersifat
umum) dan al-‘urf al-khash (kebiasaan yang bersifat khusus).
4.
Dari
segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf terbagi dua; yaitu al’urf
al-shahih ( kebiasaan yang dianggap sah) dan al-‘urf al-fasid ( kebiasaan yang
dianggap rusak).
5.
Para
ulama ushul fiqh sepakat bahwa ‘urf al-shahih, yaitu ‘urf yang tidak
bertentangan dengan syara’.
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan,
Abd. Rahman (2011), Ushul Fiqh. Jakarta; Amzah.
Ash
Shiddieqy, Nasbi (1978), Pengantar Ilmu Fiqh. Jakarta;Bulan Bintang.
Syarifuddin,
H. Amir (2008), Uhul Fiqh. Jakarta; Kencana.
[1]
Dr.H.Abd.Rahman Dahlan,M.A,2011 Ushul
Fiqh (Jakarta; Amzah)hlm 209
[2]
Prof.Dr.T.M.Nasbi Ash Shiddieqy,
1978 Pengantar Ilmu Fiqh (Jakarta; Bulan Bintang)hlm213
[3]
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, 2008, Ushul Fiqh Jilid 2, ( Jakarta;
Kencana) hlm. 392
[4]
Ibid, hlm. 402-403.
No comments:
Post a Comment