Fenomena
Gunung Pasir
Oleh : Dewi Purwati
Sebagai mahasiswa yang sedang belajar dibidang bimbingan dan konseling mau tidak mau dituntut memahami realitas permasalahan atau kasus-kasus hangat serta penangananya diberbagai bidang kehidupan. Baik itu pendidikan, keluarga, pernikahan dll. Disamping memahami realita masalah tersebut juga mencari alternative yang solutif dan efektif bagi si klien.
Beberapa
minggu lalu kebetulan ada teman sharing masalah keluarga. Alhamdulillah, Allah
memberikan amanah dan rezeki padanya untuk terlebih dahulu menyempurnakan agama
(yaitu dengan jalan menikah). (Tanpa menyebut nama dikarenakan asas
kerahasiaan dan kode etik yg wajib dipatuhi). Hitung-hitung eksperimen
sebelum jadi konsultan beneran. Namun, sebagai seorang sabahat, saya memposisikan
diri sebagai mitra keluarga saat itu.
Ada
yang menarik yang kemudian ingin saya tuliskan setelah satu jam-an sharing dengan
teman saya. Catatan bagi saya pribadi tentunya, yakni ketika sudah menikah, ternyata tidaklah semudah yang kita bayangkan
juga tidaklah semulus yang kita angankan sebelum menikah dulu. Sesekali ada terjal
dan ombak menghadang. Yah… contohnya seperti “fenomena gunung pasir”. Kenapa
saya sebut sebagai fenomena gunung pasir?
Fenomena
Gunung Pasir dapat saya katakana :
sebuah masalah kecil dan sepele yang sering muncul dalam rumah tangga. Karena
dalam masalah rumah tangga itu sering kali muncul tumpukan-tumpukan masalah
masalah kecil yang dibiarkan begitu saja tanpa adanya penyelesaian. Sehingga
dari masalah-masalah kecil yang bertumpuk tersebut akan menjadi gunung yang
tinggi dan besar. Apabila terus menerus
didiamkan dan dibiarkan maka lama-kelamaan bisa menjadi ledakan yang
membahayakan.
Itulah fenomena gunung pasir dalam rumah tangga.
Mungkin biiar gampang jika dilogikakan ilustrasi begini : Saat disekitar lereng Merapi Yogyakarta banyak masyarakat menumpuk
pasir untuk bahan bangunan, pasir yang tertumpuk tersebut kelihatan seperti gunung
yang sangat besar dan tinggi dari arah kejauhan. Namun jika anda datangi dan
anda ambil dengan tangan anda, ternyata gunung yang anda lihat besar dan tinggi
dari kejauhan tersebut, hanyalah kumpulan dari butir-butir pasir yang sangatlah
kecil. Demikianlah dengan permasalahan hidup berumah tangga.
Gunung yang kita lihat tinggi nan besar itulah masalah yangsudah terlanjur menumpuk. Sedangkan butiran-butiran pasir yang kita pegang itulah masalah-masalah kecil dan sepele namun tidak segera dicari jalan solusinya. Yang sebenarnya kita tahu masalah-masalah kecil itu dapat diselesaikan dengan mudah bersama pasangan.
Secara
pribadi, ada manfaat yang didapat dipetik disini sebagai bekal saat menjalani
rumah tangga bersama pasangan kelak. Bahwa masalah kecil maupun besar
sewaktu-waktu muncul dalam rumah tangga :
Segeralah
komunikasikan bersama pasangan. Jangan menunda masalah menjadi semakin
menumpuk, besar dan kemudian meledak. Kemudian, ciptakan keterbukaan bersama
pasangan dalam komunikasi. Lakukan pada saat keadaan tenang tanpa emosi. Jangan
mendominasi percakapan bersama pasangan. Biasanya hal ini dilakukan karena
saling mempertahankan prinsip. Sehingga komunikasi yang diharapkan guna
menyadari letak kesalahan masing-masing. Nah…perlu digaris bawahi kebayakan wanita
sering mengutarakan perasaanya dengan
cara berbelit-belit, ingin mengutarakan A namun berawal dari B dulu baru bisa ke A. Sedangakan pria
rata-rata kurang menyukai diskusi yang
muter-muter dan berbelit-belit, para
bapak biasanya suka yang “to the point” istilahnya langsung pada intinya. Maka
bagi para bapak harus saling memahami satu sama lain, jika pasangan memang
kurang “clear” dalam penyampaian. Dan bagi para ibu, berusahalah untuk tidak
membuat bingung dengan mengemas perkataan yang lebih simple. Setidaknya ini informasi
tambahan hasil oleh-oleh kunjungan dari “FJC” Family Jogja Center” bahwa yang
menghambat pasangan dalam komunikasi : ^_^
1. Belum menemukan chemistry kesejiwaan
Untuk
bisa nyaman berkomunikasi antara suami dan istri itu diperlukan sebuah rumus
kimia tertentu (chemistry) yang bisa menciptakan kesejiwaan di antara
mereka berdua. Jika suami dan istri masih menjadi dua pihak yang berbeda, belum
satu jiwa, belum menjadi soulmate, maka wajar jika terdapat gap atau
kendala dalam berkomunikasi dengan pasangan. Suasana ini menjadi pemicu malas
dalam berkomunikasi dengan pasangan.
Chemistry
ini harus ditemukan terlebih dahulu
oleh suami dan istri. Mereka berdua dengan tekun menyelami jiwa pasangan,
setiap hari, agar bisa menemukan posisi yang tepat bagi masing-masing untuk
menjadi belahan jiwa bagi yang lain. Jika chemistry kesejiwaan ini sudah
ditemukan, suami dan istri akan sangat mudah dan lancar berkomunikasi. Chemistry
ini pula yang menjamin minimnya salah paham dalam komunikasi antara suami
dan istri.
Pasangan
suami-istri yang belum menemukan chemistry kesejiwaan cenderung malas
untuk membahas permasalahan keluarga bersama pasangan, karena merasa sia-sia.
Bahkan sudah ada stigma “walau mau dibahas seperti apa saja, tidak akan selesai
juga”. Menurut suami, “Ini pekerjaan sia-sia, tidak akan menyelesaikan
apa-apa.” Menurut istri, “Ini semua karena dia.”
Temukan
dulu chemistry kesejiwaan ini agar bisa nyaman dan selalu nyambung dalam
berkomunikasi. Dengan demikian akan mudah membahas dan mencari penyelesaian
setiap masalah keluarga.
2.
Omongan yang tidak jelas
Kadang
ketika istri ingin menyampaikan suatu hal kepada suami, tidak bisa membahasakan
dengan jelas, sehingga pembicaraannya terkesan melingkar-lingkar dan bertele-tele.
Suami merasa capek menunggu inti dari pembicaraan sang istri yang terlalu
panjang dan tidak segera bisa dipahami maksudnya. Akhirnya suami malas
mendengarkan dan malas diajak membicarakan masalah keluarga.
“Umi
tidak pernah jelas dalam menyampaikan masalah keluarga. Malas abi membicarakan
hal yang tidak pernah jelas,”
ungkap suami. Jelas saja, istrinya menjadi bertambah sedih, marah, dan
tersinggung dengan ucapan seperti itu.
Rata-rata
suami menyukai pembicaraan to the point, sementara kaum perempuan sulit
berbicara to the point. Sisi ini dipengaruhi oleh konstruksi otak
laki-laki dan perempuan yang memang berbeda dari ‘sono’nya. Para istri harus
belajar meringkas pembicaraan saat ingin membahas masalah keluarga dengan
suami, sebaliknya suami harus belajar sabar mendengarkan cara bertutur istri
yang selalu bercabang dan berkembang.
3.
Mendominasi pembicaraan
Ketika
suami dan istri duduk berdua membahas masalah keluarga, berikan waktu yang
seimbang untuk masing-masing menyampaikan pendapatnya. Jika suami atau istri
terlalu mendominasi pembicaraan, tidak akan terjadi dialog yang sehat, karena
berlangsung searah. Satunya mendominasi pembicaraan dan satunya hanya diam
mendengarkan. Pihak yang diam akan menjadi pihak yang tertekan.
“Tidak
ada gunanya umi bicara. Abi selalu mendominasi pembicaraan. Kalau umi bicara
pasti tidak akan didengarkan,”
demikian pikiran suami atau istri jika pasangannya selalu mendominasi
pembicaraan.
Untuk
itu jangan memonopoli pembicaraan ketika sedang melakukan pembahasan masalah
keluarga bersama pasangan. Ketika suami atau istri merasa tidak pernah memiliki
kesempatan untuk berbicara, sikap inilah yang membuatnya semakin diam dan
menganggap omongan itu seperti angin lalu.
4.
Komunikasi yang kasar
Kata-kata
kasar yang sering diungkapkan saat mengobrol dengan pasangan membuat suasana
pembicaraan menjadi tidak nyaman. Demikian pula gaya dan sikap yang kasar dalam
berkomunikasi, menyebabkan pasangan menjadi malas untuk melakukan komunikasi.
Akhirnya semua masalah keluarga hanya didiamkan dan dibiarkan saja, karena
merasa tidak nyaman untuk mengajak pasangan membahas jalan keluarnya.
“Abi,
hari ini anak kita bermasalah lagi di sekolah…,” ungkap istri setelah suami
pulang ke rumah.
“Masa
bodoh! Berapa kali sudah aku katakan,
urusan anak itu urusan kamu! Kalau ia bermasalah, berarti kamu yang bermasalah,
tahu? Jangan bawa-bawa masalah anak kepada aku! Terserah kamu saja !” jawab
suami dengan ketus dan kasar.
Gaya
komunikasi seperti itu tidak sehat. Sejak dari cara pandang terhadap masalah,
pemilihan kosakata, sampai kepada intonasi dan bahasa tubuh menyebabkan
pasangan menjadi takut dan malas untuk mengobrol lagi.
Jika
suami atau istri memiliki kebiasaan mengatakan kata-kata kasar, menyakitkan
perasaan, meremehkan, menghina, dan mengintimidasi, maka pasangan akan memilih
bersikap defensif dan malas mendengarkan pembicaraannya. Selain itu, gaya
komunikasi yang kasar akan cenderung menimbulkan trauma berkepanjangan yang
menyebabkan pasangan menjadi tertekan. Hal ini memperparah masalah dalam
keluarga, dan bukan menyelesaikannya.
5.
Mendramatisir suasana
Saat
membicarakan masalah keluarga, lakukan dengan tenang, pikiran jernih dan niat
yang tulus untuk mendapatkan penyelesaian masalah. Kadang istri terbawa emosi
saat menceritakan masalah, sehingga air matanya tumpah ruah di sepanjang
pembicaraan dengan suami. Setiap menceritakan masalah, selalu disertai dengan
tangisan. Bagi banyak kalangan suami, hal ini dianggap sebagai mendramatisir
suasana.
“Aku
gak mau lagi bicara dengan kamu. Bisa gak kamu bicara tanpa menangis? Apakah
menangis bisa menyelesaikan masalah keluarga kita?” ungkap suami. Ungkapan seperti ini juga menyebabkan istri
semakin bersedih dan semakin serius tangisnya.
Cobalah
untuk menenangkan diri saat memulai berkomunikasi dengan pasangan. Jangan
terbawa emosi. Jika perlu, sebelum terjadi pembicaraan buat dulu catatan
poin-poin penting dan alur pembicaraan yang diinginkan bersama pasangan. Dengan
demikian pembicaraan akan lebih lancar, tidak ada bagian penting yang
terlewatkan, serta tidak ada kesan mendramatisir suasana.
6.
Tuduhan ekstrem
Kadang
suami atau istri cenderung menggunakan kata-kata tuduhan yang ekstrem dalam
mengungkapkan permasalahan. Kebiasaan menggunakan kata-kata ekstrem seperti
“selalu”, “tidak pernah” atau “terus-menerus” menyebabkan pasangan malas untuk
melakukan percakapan karena merasa diserang dan dituduh. Padahal kata-kata itu
tidak sesuai dengan realitas yang ada. Perhatikan betapa ekstrem
tuduhan-tuduhan seperti ini:
“Kamu
dari dulu selalu mengulang kebiasaan yang salah….”
“Dari
dulu kamu tidak pernah mendengarkan pendapatku…”
“Kamu
terus menerus menuduhku dari dulu…”
Realitas
yang sesungguhnya terjadi tidaklah seperti yang dituduhkan. Misalnya, tidak
mungkin seorang suami atau istri “selalu mengulang kebiasaan yang salah”.
Padahal kenyataannya, kesalahan yang diulang itu bisa dihitung dengan jari,
bukan selalu. Demikian juga, tidak mungkin seorang suami atau istri “tidak
pernah mendengarkan pendapat” pasangan. Pasti ada juga pendapat yang didengar
dan dilaksanakan oleh pasangan.
Tuduhan
yang ekstrem seperti itu cenderung menyebabkan pasangan merasa terintimidasi
dan membuatnya malas berkomunikasi.
7.
Awalan yang tidak tepat
Permulaan
sangat menentukan pembahasan berikutnya. Jika mengawali secara salah, bisa
merusak suasana pembahasan secara keseluruhan. Pembicaraan sudah gagal dari
awalnya, karena suami dan istri memulai dengan awalan yang tidak tepat. Awalan
yang tidak tepat itu misalnya kalimat tuduhan atau vonis kepada pasangan, yang
disampaikan sejak awal pembicaraan. Dengan tuduhan itu, suasana pembicaraan
mirip persidangan gugatan, sehingga membuat sekat perasaan pasangan.
Contoh
awalan yang berupa tuduhan kepada pasangan adalah sebagai berikut:
“Semua
ini karena kesalahan yang kamu lakukan. Jika kamu tidak melakukan kesalahan,
pertemuan seperti ini tidak perlu terjadi.”
“Gara-gara
kamu selingkuh, semua menjadi berantakan seperti ini. Semua karena kesalahan
kamu.”
Contoh
awalan lain yang tidak tepat adalah ketika istri mengajak suami membahas
masalah dengan kalimat, “Abi, kita harus bicara. Ini ada masalah serius yang
harus segera kita selesaikan.” Ungkapan seperti ini cenderung membuat suami
merasa tidak nyaman dan cenderung merasa sebagai tertuduh.
Tujuan
utama dari pembahasan ini adalah untuk mencari solusi atau penyelesaian
masalah. Maka lakukan dengan cara yang baik dan dengan suasana yang baik pula,
agar tujuan bisa tercapai. Salah satu cara yang baik adalah dengan awalan yang
baik, sehingga membuat pembahasan menjadi lancar dan nyaman.
Contoh
awalan yang baik adalah dengan prolog hal-hal ringan dan cenderung lucu.
Seperti bercerita tentang kelucuan anak-anak, kejadian lucu dengan tetangga,
cerita lucu teman kantor, dan lain sebagainya yang bersifat ringan. Jika
suasana sudah cair dan nyaman, barulah bisa masuk ke inti permasalahan yang
hendak dibicarakan. ^_^
8. Waktu yang tidak tepat
Jangan
menyepelekan pemilihan waktu untuk membicarakan permasalahan keluarga dengan
pasangan. Walau kelihatan sangat teknis, namun hal ini berpengaruh besar dalam
keberhasilan sebuah komunikasi. Ketika pasangan sedang dalam keadaan lelah
karena baru saja datang dari tempat kerja dan belum sempat istirahat, lalu Anda
memaksanya untuk berbincang serius tentang masalah keluarga, pasti ia merasa
tidak nyaman.
Di
saat suami atau istri tengah lelah, yang diinginkan adalah rehat sejenak.
Berikan waktu tiga puluh menit atau satu jam untuk rileks, buatkan minuman
panas atau dingin sesuai kesukaannya, pijit-pijit dengan ringan tubuhnya agar
hilang rasa lelah serta penatnya, setelah itu ia akan lebih siap untuk diajak
berbincang.
Demikian
pula saat pasangan tengah asyik menonton sebuah acara di televisi atau tengah
bekerja di depan komputer, menjadi waktu yang tidak tepat untuk mengajaknya
berdiskusi tentang masalah keluarga. Tanyakan apakah ia akan menonton acara itu
sampai selesai. Jika memang ia menyukai acara itu, biarkan saja ia
menyelesaikan menonton agar tidak merusak ‘mood’nya.
Tanyakan
apakah pekerjaan di komputer itu masih lama. Jika memang masih lama, mungkin
Anda bisa mengerjakan dulu aktivitas lain sambil menunggu pasangan bekerja di
komputer. Mungkin juga Anda lebih nyaman berbincang saat anak-anak sudah tidur
di malam hari, sehingga suasana lebih kondusif. Pemilihan waktu yang tepat akan
mendukung keberhasilan pembicaraan dengan pasangan.
9. Tempat yang tidak tepat
Tempat
untuk melakukan pembicaraan masalah keluarga juga sangat menentukan. Kadang
suami dan istri merasa terganggu oleh keributan anak-anak di rumah, atau
terganggu oleh banyaknya tamu di rumah, atau oleh rutinitas kesibukan rumah
tangga, sehingga tidak nyaman untuk berbincang berdua membahas masalah. Oleh
karena itu, untuk membicarakan masalah keluarga kadang perlu tempat lain, bukan
di rumah, jika memang di rumah tidak kondusif untuk melakukan pembicaraan ini.
Tidak
perlu berpikir menyewa tempat seperti hotel atau restoran untuk melakukan
pembahasan masalah keluarga, kecuali jika memang sengaja menganggarkan dana.
Cukup menyempatkan waktu berdua berjalan ke pantai atau ke taman kota atau ke
hutan pinggir kota, yang gratis saja, untuk mencari tempat yang sepi dan jauh
dari gangguan orang lain. Di tempat yang kondusif, semua permasalahan bisa
dibahas dengan leluasa, tanpa merasa ada gangguan yang menghalangi pembicaraan.
10.
Tidak ada variasi
Suami
atau istri pasti akan bosan membicarakan masalah yang berulang-ulang dan
seperti tidak pernah selesai. Jika ada suatu masalah yang sudah pernah dibahas
secara panjang lebar sebelumnya, jangan diangkat lagi dalam waktu yang sangat
dekat. Jika tema permasalahannya selalu sama, akan membuat pasangan malas
membicarakan kembali karena seakan-akan hidupnya habis untuk satu masalah itu
saja.
Selingi
pembicaraan dengan tema-tema lain, agar tidak menimbulkan kejenuhan dalam
pembicaraan. Variasi dalam tema, cara menyampaikan, pilihan waktu, pilihan
tempat, pilihan suasana, gaya komunikasi dan sebagainya, menjadi penting untuk
membuat suasana yang selalu segar dan tidak monoton.
Demikianlah
sepuluh hal yang menyebabkan suami dan istri merasa malas untuk membahas
masalah dengan pasangan. Maka hindarilah hal-hal di atas agar bisa selalu
merasa nyaman dan nyambung berbincang dengan pasangan. Semua masalah bisa
dibahas secara baik-baik tanpa perlu pertengkaran dan konflik yang semakin
menjauhkan perasaan kebersamaan pasangan suami dan istri
Jadi,
ujian dalam rumah tangga bisa menjadi sebuah upaya mempererat keharmonisan antara
suami dan istri. Maka dari itu, komunikasi amatlah penting dibangun dalam
menjaga keutuhan sebuah rumah tangga. Jangan pernah membiarkan masalah menjadi
pengganggu keharmonisan keluarga yang sudah diniati ibadah Lillahitaa’la untuk
menyempurnakan agama. Uraikan satu persatu, selesaikan secara baik-baik agar tidak menumpuk menjadi
gunung pasir.
Semoga
bermanfaat ^_^